Makan, Minum, Duduk, Tidur, Dibayar, dan Halal

Sunan bercengkrama dengan senja

Cerita ini dimulai dari percakapan antara saya dengan kakak tingkat(kating) dua tahun diatas saya. Niat awal saya adalah mengembalikan kemeja miliknya yang sudah satu tahun belum saya kembalikan. Percakapan berakhir dengan sebuah perintah untuk mengirimkan kemeja tersebut ke tempat tinggal kerjanya yang sekarang di daerah barat jawa, tapi bukan Jawa Barat.

Satu bulan berlalu, kemejanya belum juga saya kirimkan. Kendalanya adalah karena saat saya menghubunginya saat itu saya sedang berada di Jakarta untuk Kerja Praktek, sedangkan kemejanya saya simpan di Semarang. Akhirnya saya memulai chat kembali untuk memastikan dan menginfokan untuk mengirimkan kemeja tersebut. Tak lama, kating saya ini menelepon namun tidak sempat saya angkat. Tujuan dari telfon tersebut tergambarkan di chat selanjutnya, penjelasan akibat dari saya tidak mengangkat telfonnya.

“der, minggu depan sibuk nggak? Ada kerjaan nih tapi Cuma sehari,” begitu katanya.

Tahu saja, lagi butuh tambahan untuk ditabung. Lalu ia menjelaskan bagaimana kerjaan yang dimaksudkan. Saya meminta untuk mengajak teman seangkatan saya untuk menemani. Saya butuh teman untuk kerjaan yang ini. Lalu saya mengajak Sunan, teman sekamar saya sejak bulan April, dan teman satu kos sejak semester 4. Sunan setuju, pembagian fee terutama.

H-1, saya dan Sunan diminta untuk ke kantor cabang Semarang tempat kating saya ini bekerja. Jaraknya lumayan dari Undip atas. Setelah sampai disana, kami menunggu sebentar dan kating saya tiba dengan chief-nya. Ia keluar dari mobil dengan membawa alat yang akan kami … besok. Iya itu saya sengaja buat … biar nanti kamu paham kalau baca sampai selesai.

“gimana kabarnya der, sehat? Sunan sehat?” kurang lebih seperti itu. Sebelum akhirnya kami diajak untuk masuk ke kantornya.

Perusahaan internasional, chief-nya pun bukan WNI, jadi kating saya harus berbahasa inggris dalam kesehariannya. Begitupun kami pada saat itu. Kami disuguhi minuman bersoda terkenal yang kalengnya berwarna merah dan isinya berwarna cokelat. Setelah bincang-bincang, kami di briefing mengenai apa yang akan kami kerjakan besok. Selesai.

Hari kerja tiba, kami harus berada di pos 4 Pertamina Tanjung Emas selama kurang lebih 24 jam, untuk menjaga sebuah alat yang harganya setara dengan satu unit mobil fortuner. Tanggung jawab berat. Kenyataannya, …

Membosankan, iya, hanya benar-benar menjaga. Kami tidak mengotak atik alat tersebut, iya alat GPS Geodetik yang mengambil data selama 24 jam. Tugas kami hanya menjaga supaya alat tersebut tidak hilang, tidak mati, ya. Dalam waktu 24 jam itu, kami makan yang juga sudah ditanggung oleh kating saya, nyemil yang sudah ditanggung juga, minum juga, lalu tidur, solat, baca buku, buka instagram, buka line, buka laptop untuk persiapan presentasi besok di kelas, lalu melongok ke GPS, “oh, masih ada.” Yah seperti itu, dan kami dibayar.

Ada kan, orang duduk, tidur, makan, minum, bosen, dan dibayar, Halal insyaa Allah.

Ada.

Sekian.

Untungnya tidak hilang.

Jurnal Geodery #2 : Halo Semarang, Halo Undip

                Setelah diterima lewat jalur UM I di Undip, saya melengkapi segala syarat administrasi. Saya berangkat ke Semarang sekitar satu pekan sebelum kegiatan verifikasi dan tes kesehatan dilakukan. Harapan keluarga saya yaitu bisa langsung menemui petinggi kampus untuk membicarakan hal menyangkut SPI. Tahun saya masuk adalah pertama kali diberlakukan uang Sumbangan Pembangunan Infrastruktur (SPI) oleh Undip untuk jalur UM.

                Saya berangkat berdua dengan Ayah Rahimahullahu Ta’ala. Tujuan pertama kami di Semarang adalah kos Mas Bandi, yang mana adalah tempat kos Mas Depi(abang saya) saat kuliah di Undip beberapa tahun lalu. Sesampai di kos Mas Bandi, ternyata kamar disana penuh. Saya disarankan untuk ke rumah orang tua Mas Bandi yang tidak jauh dari rumahnya. Orang tuanya juga memiliki kamar kos, dan katanya ada yang kosong. Oke, akhirnya saya ditetapkan untuk tinggal di kos orang tua Mas Bandi, yang ternyata setelah saya tahu dimana kampus saya berada, ternyata jaraknya cukup jauh. Kos pertama saya di Ngesrep Timur, untuk yang mengerti daerah Tembalang dan sekitarnya, pasti tahu bagaimana jarak kos saya dengan kampus Undip Tembalang.

                Kembali ke tujuan awal kami berangkat lebih cepat. Keesokannya Saya dan Ayah Rahimahullahu Ta’ala pergi ke kampus, entah kami mau kemana belum tahu. Ke Kampus dulu pokoknya. Naik angkot, kami melewati gedung prof. Soedarto, dan disana sedang ada fakultas lain yang mengadakan verifikasi mahasiswa baru. Akhirnya kami memutuskan untuk kesana dan bertanya kepada mahasiswa yang menggunakan Almamater sebagai tanda bukan mahasiswa baru. Setelah menjelaskan keperluan kami, akhirnya kami diarahkan untuk bertanya lebih lanjut di Stand BEM Undip, tepatnya di bagian sosial/kesejahteraan mahasiswa.

                Ayah Rahimahullahu Ta’ala menjelaskan tujuan kami, dan ditanggapi oleh pengurus BEM dengan sangat baik. Akhirnya ada satu mahasiswi dari Departemen Hubungan Internasional FISIP angkatan 2014 yang akan membantu kami untuk menghadap ke Wakil Rektor 2 (kalau tidak salah) untuk membahas tentang penangguhan atau kalau bisa penghapusan SPI untuk saya. Pada saat itu juga saya sudah membawa berkas pendukung yang mungkin diperlukan sebagai penguat pengajuan. Saya dibonceng mahasiswi (aduh, ga enak ya dibacanya) tersebut untuk ke tempat fotokopi untuk membuat surat permohonan dengan materai untuk diajukan ke Wakil Rektor. Setelah itu, menjemput ayah saya yang menunggu di Gedung prof. Soedarto yang dibonceng oleh mahasiswa dari Sastra Indonesia FIB angkatan 2014 juga, untuk bersama ke Gedung Widya Puraya.

                Akhirnya kami bertemu dengan Wakil Rektor, menjelaskan ini itu, bagaimana keadaan keluarga kami, apakah bisa SPI ditiadakan atau diringankan, dan hasilnya? Tidak ada. Disini saya tidak bermaksud untuk menjelekkan Universitas, tapi saya paham, peraturan ya tetap peraturan. Pendaftar UM dianggap mampu membayar SPI karena sudah diberitahu pada pendaftaran online jalur UM. Akhirnya saya dan ayah Rahimahullahu Ta’ala, pulang ke kos dengan diantar kedua mahasiswa soskesma BEM Undip tersebut. Padahal kosnya cukup jauh. Makasih mas mba. Saya masih ingat sampe sekarang kejadiannya tapi lupa nama mas mba siapa.

                Dari kejadian hari itu saya belajar, mahasiswa benar-benar dituntut kritis dan belajar memperjuangkan sesuatu dengan maksimal, bagaimanapun hasilnya yang penting usaha dulu. Seperti yang Ayah saya bilang, “dicoba dulu”. Padahal saya sejak awal sudah bilang untuk tidak usah mengurus SPI ini karena tidak mungkin bisa turun atau dihilangkan. Adapun mahasiswa Kesma Undip juga mendukung pernyataan ayah saya. “Dicoba dulu, lumayan setidaknya kalau bisa turun,” kalau tidak salah begitu katanya. Memang, kadang saya menyerah sebelum mencoba.

Dari hari itu, saya bertekad ingin menjadi anggota BEM terutama Kesma yang membantu mahasiswa lainnya yang butuh bantuan seperti saya sekarang ini, tapi gimana nanti dilihat saja cerita selanjutnya. Heleh, dasar Maba.

                Selama menunggu masuk kuliah, saya ikut first gathering dengan teman angkatan 2016 Prodi Teknik Geodesi (yang sekarang sudah berubah menjadi Departemen Teknik Geodesi). Pertama kali bertemu di Masjid Kampus Undip/Maskam/Masjid KU sebelum akhirnya pindah ke House of Moo (tempat makan gitu/menu andalannya minuman susu variasi rasa). Saya bingung memakai alas kaki karena hanya punya sandal jepit, sepatu futsal, dan sepatu selop semi pantofel untuk kegiatan mahasiswa baru. Akhirnya, saya memutuskan menggunakan sepatu futsal. Adanya itu. Jangan diketawain ya, tapi gapapa.

Foto Bersama di House of Moo.

                Lalu saya melakukan tes kesehatan, kenal teman sesama daerah dari Jakarta yaitu Nahar Dito, kenalan dengan Ibunya juga dan diminta nomor HP saya.

Katanya kurang lebih begini, “Biar nanti kalo dito bandel atau ada apa-apa bisa hubungi dery.”

Lalu sambil menunggu tes kesehatan, ternyata samping saya juga dari Teknik Geodesi. Sekian lama kami hanya diam, dan akhirnya berkenalan. Ternyata dia adalah salah satu manusia yang suka ramai muncul di grup line Geodesi 2016, dan juga berasal dari Jakarta. Iman Arta, yang nickname line nya saat itu adalah Kodok. Pertemuan dengan Dito dan Iman dilanjutkan dengan bertemu teman geodesi lainnya.

Setelah Tes Kesehatan di RSND.

Ketika verifikasi … , dilanjut di kesempatan berikutnya aja ya. Kalau kepanjangan takut bosen bacanya hehe. Sampai jumpa.

Ada Apa di Merbabu?

Setelah menyelesaikan 40 hari kerja dalam kegiatan magang wajib dari kampus, saya kembali ke kehidupan nyata sebagai mahasiswa. Salah satu rencana yang telah dituliskan yaitu mendaki Gunung Merbabu dalam waktu awal masuk kuliah. Rencana tersebut muncul karena ada suatu kegiatan Mapala Departemen saya, yaitu Mapala Sherpa Geodesi yang akan mengadakan kegiatan di Gunung Merbabu.

Kita berangkat ke Basecamp Selo Merbabu pada Jumat pertama sekembalinya saya ke Semarang. Rencana awal kami yaitu berangkat setelah shalat ashar, namun karena ada kelas mendadak dari salah satu dosen kami yang baru selesai sekitar pukul lima sore, kami akhirnya memutuskan untuk berangkat setelah shalat isya. Saya berangkat bersama empat teman saya, tiga diantaranya anggota tetap mapala, dan satunya adalah Nada salah satu rekan mendaki ke Semeru tahun lalu. Anggota mapala lainnya sudah terlebih dahulu berangkat untuk persiapan dan sebagainya. Kami tiba di Basecamp Selo sekitar pukul 11 malam, karena mampir di warung makan dulu di tengah perjalanan.

Pada pendakian kali ini saya memiliki target untuk bisa sampai ke puncak, sedangkan mapala memiliki susunan acara sendiri, tidak sampai ke puncak. Saya khawatir, atau tepatnya seperti tidak patut saja jika mendaki hanya berdua dengan Nada, yang satu-satunya rekan saya non-mapala disini. Setelah bersikukuh melobi ketua mapala, Ando, yang juga rekan ke Semeru tahun lalu, akhirnya membolehkan dua orang anggota mapala untuk menemani saya dan Nada untuk melakukan pendakian ke Puncak, yaitu Eleven dan Danang. Mereka diizinkan karena pos kegiatan mereka terletak di pos paling tinggi dalam susunan kegiatan mapala tersebut.

Kami sudah siap mendaki sejak pukul delapan pagi, semua sudah di packing rapi. Namun, basecamp Selo ternyata memiliki prosedur baru dalam pendakian, yaitu pendaftaran online lengkap dengan data seluruh pendaki mulai dari nama sampai nomor handphone. Pendaftaran online harus dilakukan di hari saat memulai pendakian, tidak bisa satu hari sebelumnya, maka itu akan dianggap hangus, begitu yang saya pahami dari peristiwa kemarin. Untuk lebih lanjut bisa dibaca sendiri disini Setelah selesai melakukan prosedur online, mengantri untuk mendapatkan list peralatan dan logistic pendakian, sampai dicek secara detil oleh saver merbabu (bongkar muat packing-an), dan diberikan briefing singkat. Dilakukan pengecekan barang bawaan karena nanti ketika turun, sampah yang kita bawa turun harus sesuai dengan list yang telah dicek petugas. Misalnya, telah dihitung satu tim membawa enam botol air mineral, maka turun juga harus membawa keenamnya, tidak boleh kurang. Adapun jika membawa lebih maka harus melakukan laporan khusus. Jika sampah yang dibawa turun kurang, maka akan dipersilahkan untuk naik kembali mengambil sampah atau dikenakan denda/sanksi yang saya belum tahu berapa/berupa apa.

Gerbang Pendakian Selo, Boyolali

Singkatnya, kami baru bisa mendaki pukul 11.30 siang. Rencana awal kami langsung ke puncak, dengan mendirikan tenda di pos 3 atau sabana 1, untuk sekarang ya bisa menyesuaikan saja karena perjalanannya juga mundur. Kami berempat berjalan langsung dengan target cepat sampai, sedangkan tim mapala lainnya menempati posnya masing-masing dan melakukan kegiatannya. Nyatanya, perjalanan kami berempat terbilang lambat, kami sering berhenti di perjalanan. Singkatnya, sampai di pos 1 hampir pukul 1 siang. Kami shalat dan nyemil di pos 1 sebelum berangkat ke pos 2.

Ada apa di Pos 1.
Nyemil Sehat di Pos 1.

Dari awal pendakian sebenarnya saya sudah merasa ada yang tidak beres pada tubuh saya. Saat menuju pos 1, saya bertukar carrier dengan Danang yang mana hanya beda sedikit beratnya dengan carrier yang saya bawa. Lalu dari pos 1 ini Eleven meminta dengan paksa (hmmmmm) untuk membawakan carier saya, sedangkan saya membawa daypacknya, baru berjalan sebentar dari pos 1, yaaa malu lah masa cewe yang bawa carrier. Akhirnya saya kembali membawa carrier, namun tenda kapasitas 2-3 orang yang saya bawa dibawakan oleh Eleven. Danang dan Nada kuat didepan, sedangkan saya sangat berjalan lambat bersama Eleven (yang sebenarnya juga kuat) di belakang.

Penderitaan kembali muncul saat sampai di Tikungan Macan, trek Merbabu yang sangat kering, debu berterbangan dengan nikmatnya, tiada perjalanan tanpa menutup hidung dan mulut dengan masker. Pendaki yang berpapasan dengan kami juga selalu nampak ‘gembel’ dengan penuh debu di rambut dan wajahnya. Inilah yang namanya kenikmatan menuju pos 2 mulai dari Tikungan Macan.

Tikungan Macan.

Kami sampai di Pos 2 dengan keadaan yang mana saya sudah sangat kelelahan. Kami istirahat cukup lama di pos 2 karena saya yang harus memulihkan tenaga lebih lama. Bukan hanya saya, ternyata Danang juga kurang fit saat itu, dia beberapa kali mengeluhkan sakit kepala entah karena apa. Kurang lebih setengah jam kami berhenti, dan memutuskan untuk naik ke pos 3.

Jarak dari pos 2 ke pos 3 cukup dekat, namun jalur tetap menanjak, bahkan lebih kering dari sebelumnya. Trek pendakian sudah seperti padang pasir, sangat kering. Saya tertinggal di belakang, kali ini saya sendirian. Saya terus berjalan meskipun sangat pelan, karena saya merasa enak jika seperti itu. Saya samasekali tidak berhenti untuk istirahat dalam perjalanan menuju pos 3. Saya menanamkan dalam diri saya “pelan-pelan yang penting jalan terus”. Makna pelan-pelan itu benar-benar sangat pelan. Tapi yang saya rasakan tidak lelah. Akhirnya kami sampai di pos 3 sekitar pukul 15.30. Begitu sampai di pos 3, saya merasa sangat senang karena merasa bahwa saya masih mampu sampai sejauh ini.

Sampai Pos 3, Menghadap Jalur Turun ke Pos 2.

Kami duduk disini, menengok ke kiri dimana tanjakan yang lebih gila lagi menuju pos 4 atau sabana 1. Menengok ke kanan yang merupakan tanjakan sebuah bukit dengan latar langit. Karena tidak sabar, akhirnya saya segera bangkit, membawa kamera, dan naik ke bukit tersebut. Katanya, darisana nampak gagahnya Gunung Merapi. Ya, benar.

Sudah tidak ada lagi pikiran untuk naik ke puncak. Saya lelah.

Merapi yang Masih Tertutup Awan.

Tidak lama setelah kami sampai, Ando dan satu anggota mapala nya juga sampai di pos 3. Kami puas berfoto dengan latar Gunung Merapi. Setelah itu, kami turun bukit dan mengambil jalan lurus menuju ke lembah antara dua bukit, yang diujungnya juga terlihat jelas Gunung Merapi yang semakin gagah di sore hari. Kami disana sambil melihat matahari terbenam, dan setelah shalat kami menuju lembah kembali untuk mendirikan tenda.

Puasin Foto Dulu.
Gunung Merapi, dari Watu Tulis.

Malam hari tiba, disini juga ada dua senior mapala yang sudah bukan pengurus yang hadir untuk memantau kegiatan, yaitu Mas Aldin dan Mba Eka. Kenal? Iya, anak teknik masa gak kenal, apalagi hanya beda satu angkatan diatas saya. Ditambah beberapa pengurus mapala lainnya yang sudah sampai di pos 3. Mas Aldin terus menyemangati supaya saya bisa naik setidaknya ke Sabana 2, katanya disitulah letak keindahan maksimal Gunung Merbabu. Tapi, apa daya, daya sudah seadanya.

Malam telah tiba, kami memasak makan malam. Masakan cukup nikmat, tetapi saya samasekali tidak ada nafsu untuk makan, padahal makan besar terakhir saya sekitar 12 jam lalu. Saya hanya ingin segera tidur. Hampir pukul 9 malam, kami sudah terlelap. Beberapa kali saya dan lainnya juga mungkin, terbangun dari tidur. Ternyata masih jam 10, tidur lagi, bangun ternyata masih jam 11, begitu seringnya terbangun. Malam terasa panjang. Sampai akhirnya pukul setengah 2, saya terbangun dengan rasa mual yang sudah tidak bisa lagi ditahan. Saya tidur di posisi terjauh dari pintu tenda, sedangkan Mas Aldi nada di posisi terdekat dengan pintu. Saya membangunkannya untuk mengambilkan air minum diluar, namun karena sudah tidak tahan lagi, saya meminta untuk diambilkan plastik terlebih dahulu. Takutnya keburu muntah didalam tenda. Akhirnya plastik datang, dan saya memuntahkan hampir seluruh makan malam saya.

Setelah itu, saya pindah tidur di tenda mapala yang ada di sebelah tenda saya. Karena disana lebih hangat, dan saya kembali tidur. Namun, kembali terbangun sekitar pukul 3 pagi, sekarang mules. Saya tahu ini mules angin yang jika ditahan berbahaya, bisa keluar di celana mungkin nanti. Jadi saya bangun, keluar dan mencari spot ternyaman untuk menuntaskannya. Seorang diri di pagi gelap, angin kencang, habis muntah-muntah juga. Ya mau gimana lagi. Akhirnya, ini menjadi momen pertama saya buang air besar di gunung setelah melalang buana ke gunung-gunung sebelumnya. Merbabu Istimewa.

Setelah tuntas, saya membangunkan Eleven, karena yang saya tahu dia yang membawa tisu. Akhirnya dia bangun, memberikan saya tisu dan memasak air panas untuk saya, dan memberikan sleeping bag-nya untuk saya gunakan. Katanya, dia tidak begitu merasa dingin karena tidur dengan menggunakan jas hujan, jadi setelah itu (setelah shalat subuh) saya tidur menggunakan Sleeping bag Eleven. Oiya, karena plastik yang diberikan Mas Aldin bocor, jadi sleeping bag saya kena muntah(sebelum akhirnya dirangkap plastiknya) dan setelah muntah saya tidur di tenda mapala dengan sleeping bag Ando yang digunakan berdua antara saya dengan ando.

Matahari mulai muncul, bagaimana dengan puncak? Sabana 2? Udah lah, tenaganya disimpan saja untuk turun.

Pagi Hari di Watu Tulis.

Merbabu ini istimewa, mengajarkan hal baru untuk saya. Saya yang biasanya memotivasi teman pendakian pada pendakian-pendakian saya sebelumnya, kini saya yang merasakan motivasi tersebut dari teman-teman saya. Saya yang biasanya melayani orang sakit di gunung, sekarang dilayani sebagai orang sakit di gunung. Pertama kalinya, muntah-muntah dan BAB di gunung. Apalagi ya? Ya begitulah, saya masih penasaran dengan Merbabu. Semoga lain waktu bisa kembali dengan keadaan yang lebih baik.

Analisis saya mengenai apa yang terjadi, dimulai dari hari rabu sebelum pendakian. Saya begadang hingga jam 2 pagi untuk sebuah tugas, lalu bangun subuh dan tidak tidur lagi. Lalu saya melakukan donor darah (padahal sudah ada yang mewanti untuk tidak usah donor).

Setelah donor saya bertanya kepada petugas donor, “Mba, kalo abis begadang itu apa gak papa?”

“Maksutnya gak papa mas? Tapi ada 4 jam kan tidurnya?”

“Gak ada mba.”

“Yaudah mas, jangan olahraga dulu setelah ini ya,” perhatian mbaknya.

Setelah jarum dicabut, oleh-oleh saya kantongi, dan saya merasa nyeri di dekat lubang jarum dimasukkan tadi. Memang sedikit lebih lemas setelah donor, saya rasa ini biasa seperti donor sebelumnya. Sore harinya, saya sadar bahwa ada lebam di sekitar tempat jarum dimasukkan itu. Lebamnya cukup besar, baru sekali saya mengalami seperti ini selama donor darah. Lalu malam harinya saya begadang lagi karena tidak bisa tidur, dan malam berikutnya berangkat ke basecamp.

Mungkin ada pengaruhnya, sebaiknya jika kamu ingin melakukan pendakian maka kondisi harus prima dan jangan aneh-aneh deh.

Semoga bisa diambil pelajaran.

Tim Gagal Summit.

Jurnal Geodery #1 : Sebelum saya kuliah

Saya belakangan ini sempat berpikir untuk menuliskan apa saja yang saya lakukan selama saya kuliah, yah sudah memasuki fase kritis sebagai mahasiswa. Blog saya sedikit lebih ramai dikunjungi karena promosi dari Zenius.net, media belajar online yang saya gunakan dulu saat gap year, dimana Zenius mencantumkan alamat blog saya di salah satu artikelnya. Termasuk alasan saya memindahkan artikel Mas Penjaga Warung Juga Ingin Kuliah ke blog baru saya ini. Jadi, singkatnya saya ingin meneruskan tulisan Mas Penjaga Warung Juga Ingin Kuliah ke bagian selanjutnya yaitu masa saya kuliah. Setidaknya sebagai rekam jejak yang suatu saat nanti bisa saya tengok di blog ini. Takutnya keburu lupa, dan semoga yang saya tuliskan disini tidak memiliki unsur dusta. Saya akan mengingat yang terbaik yang saya bisa.

Terus selama ini yang kamu post di blogmu ini bukan perjalanan selama kuliah? Hmmm, maksud saya akan saya tuliskan lebih detail lagi. Jika biasanya hanya per kejadian tertentu saja kan. Oke, kita mulai sekarang…

Setelah diterima di Undip, sebenarnya tidak langsung saja saya ujug-ujug kuliah. Saya belum berkomunikasi kepada keluarga bahwa untuk jalur mandiri di Undip memiliki uang pangkal yang disebut SPI (Sumbangan Pembangunan Institusi). Untuk jurusan saya dikenakan biaya SPI yang saya rasa itu yang termurah(setahu saya) di Fakultas Teknik. Jelas, anggota keluarga saya kaget karena bagi kami saat itu nominalnya cukup besar. Saya salah karena tidak ada komunikasi sebelumnya mengenai biaya, akibatnya tidak bisa antisipasi dengan baik. Akhirnya, dari ketiga kakak saya dan orangtua saya mengumpulkan uang yang saya sendiri tidak tahu darimana uang tersebut dan digunakan untuk pembayaran saya kuliah. Total pembayaran saat itu cukup besar, dimana tidak hanya biaya untuk SPI tapi juga untuk UKT semester golongan tertinggi. Golongan tertinggi karena saya lewat jalur mandiri, dan saat itu saya tidak tahu apakah golongan UKT mahasiswa lewat jalur UM bisa turun atau tidak. Mahal? Seharusnya kita selalu bersyukur dan berpikiran bahwa Negara ini telah memberikan banyak hal untuk kita bisa bersekolah sampai sejauh ini. Ah ini ucapan saya aja karena bukan uang saya yang digunakan untuk membayar.

Abang saya, yaitu anak pertama di keluarga kami, memberikan salah satu ucapan yang menurut saya lumayan menampar dan bisa diambil pelajaran darinya. Begini kisahnya, saat beberapa hari menjelang keberangkatan saya ke Semarang, Abang menyuruh saya untuk memperbaiki gelang pengikat jam tangannya di salah satu toko. Saat itu saya hanya “iya,iya” saja, karena itu hal mudah dan masih bisa nanti. Tidak terasa, tiba pada hari keberangkatan ke Semarang. Saya belum juga memperbaiki gelang pengikatnya, lalu saya meminta maaf karena belum sempat atau mungkin tepatnya belum menyempatkan untuk memperbaiki jam tangannya. Abang saya kecewa, entah sedikit kecewa atau banyak. Bukan karena jam tangannya, tapi karena responku terhadap sesuatu. Abang bilang,

“Sebenarnya gua sengaja nyuruh lu buat ngurusin itu bukan karena gua pengen jam nya. Kalo itu mah gampang gua lakuin sendiri. Tapi, gua pengen liat respon lu dalam menanggapi sebuah perintah. Ternyata lu menyepelekan, itu yang membuat gua khawatir lu jauh dari rumah.”

“Gua seneng ngeliat lu bagus dalam perencanaan, gua lihat kalender di kamar lu penuh coretan dengan rencana-rencana. Tapi, lu meremehkan suatu pekerjaan.”

Jadwal sebelum SBMPTN
Jadwal sebelum SBMPTN

Entah Abang saya masih ingat atau engga dengan perkataannya yang ini sebelum saya berangkat pertama kali ke Semarang dengan status sebagai Mahasiswa. Saya rasa harusnya saya bisa ambil pelajaran dari sini, dimana sebenarnya memang kita punya prioritas dalam suatu pekerjaan, namun tidak boleh menyepelekan pekerjaan yang bukan di prioritaskan. Dari sini saya belajar untuk melihat kebutuhan orang lain terhadap saya, meskipun terkadang saya masih suka merasa kurang enak hati dalam beberapa hal. Semoga bisa secepatnya mengamalkan,

“Sebaik-baik kalian adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” Tentunya dalam konteks yang baik.

Mungkin kalau ada mood dan kesempatan nanti insyaa Allah diteruskan di cerita selanjutnya 🙂

Gak Usah Bawa Turun Sampahmu di Gunung Papandayan

Kawah Papandayan dari Hutan Mati.

Setelah menulis berbagai macam detail pendakian yang saya dan teman-teman saya lakukan bulan lalu, sekarang saya akan menunjukan apa saja yang saya dapatkan dengan jumlah uang simaksi yang menurut saya cukup besar. Pendakian kemarin di Gunung Papandayan untuk simaksi dikenakan Rp. 35.000 untuk pengunjung biasa yang tidak camp, sedangkan untuk yang ingin camp dikenakan biaya Rp. 65.000. Saya juga sudah bilang di post sebelumnya bahwa menurut saya ,yang terbiasa melakukan pendakian di Jawa Tengah, ini cukup mahal. Ya misalnya di salah satu gunung di Jawa Tengah itu ada yang diawal pendakian dikenakan biaya Rp. 10.000, lalu ditengah perjalanan ada lagi penarikan uang Rp.5000, lalu ada lagi tiba-tiba penarikan untuk mendirikan tenda di wilayah A(misalnya) Rp.10.000. Total Rp. 25.000 itu sudah termasuk mahal menurut, hmmmm ya menurut saya saja karena masih mahasiswa.

Jadi sebelum mendaki Papandayan kemarin sempat penasaran, kenapa sebesar itu biayanya ya. Jadi disini langsung saja ya saya jelaskan per poin apa saja yang kami dapatkan kemarin, ini dia :

  1. Pemandangan yang Indah

Pemandangan yang indah? Saya rasa semua gunung indah. Tapi, pemandangan ini diberikan langsung sejak awal pendakian. Kamu gak akan bosen sama pemandangan yang diperlihatkan disini. Batuan kapur, kawah, hijau-hijau hutan, semua ada. Jadi, kalo saya sempat berkata ke teman pendakian saya waktu itu kurang lebih seperti ini,

“Selama ini sebenarnya gua mempertanyakan tujuan gua naik gunung. Untuk nyari tenang dan indahnya alam, atau untuk ambisi menaklukan ketinggian? Sebenernya kalo nyari Indahnya aja, kita gak perlu mendaki ke gunung yang tinggi-tinggi.”

Omongan yang berdasar bahwa Gunung Papandayan yang tidak terlalu tinggi, dan saya juga pernah ke Gunung Andong dalam keadaan lumayan sepi (kita tahu bersama seperti apa ramainya Gunung Andong) yang meskipun saat itu banyak tembok kabut, tapi saat kabut terbuka? Nah! Gak perlu naik gunung tinggi untuk dapet view yang mantul(mantap betul).

2. Bersih

Salah satu kelebihan yang jarang dimiliki Gunung di Jawa Tengah, yaitu Bersih. Daritadi membandingkan dengan Gunung Jawa Tengah mulu ya, oke, Gunung Gede juga pas saya kesana 2014 gak bersih kok, tapi ya gak terlalu kotor juga. Sebenernya karena kebanyakan Gunung Jawa Tengah yang saya daki aja jadinya … membandingkan gitu. Ya paham lah. Mungkin salah satu faktor yang membuat Gunung Papandayan bersih karena banyak tersedia tempat sampah permanen (dibuat dengan batu dan semen), jadi pendaki bisa dengan mudah langsung membuang sampah disana. Numpuk? Nggak ko, sampah disana gak numpuk. Pasti ada yang membersihkan dengan rutin dan sampah tidak sampai menumpuk.

3. Toilet

Kalo kamu masih membayangkan bahwa naik gunung lalu kebelet BAB atau BAK harus ke semak-semak, itu menurut saya gak berlaku di Papandayan, jika … jika kamu bisa menahan sebentar sampai ke toilet. Disana setiap pos memiliki toilet sebanyak 4-8 pintu, seinget saya ya. Nilai tambahnya lagi, toiletnya gratis. Disana memang ada kotak ajaib untuk yang mau amal, tapi itu sukarela saja karena disana menurut saya sih sudah dikelola oleh PT. AIL yang mengelola kawasan Gunung Papandayan.

4. Banyak Warung

Untuk warung ini mungkin ada nilai plus dan minusnya. Ada beberapa yang terbantu dengan keberadaan warung di pos, terutama untuk pendaki yang tidak mau berat membawa logistik terlalu banyak. Namun, ada yang juga merasa bahwa warung mengurangi keindahan alam Gunung terkait. Kalau saya lebih condong merasa terbantu karena adanya warung, lagipula itu juga menjadi sumber pencaharian dari warga disana, ditambah untuk harga yaa tidak mahal banget lah masih bisa dikatakan normal. Disamping itu, untuk di Pondok Saladah warung juga menawarkan kayu bakar untuk membuat api unggun dan bahkan bisa meminta tolong penjual kayu bakar untuk menyalakannya juga

5. Fasilitas lain

Saya juga bingung apa saja fasilitasnya, yang saya ingat di Pondok Saladah itu terdapat mushola yang sangat memudahkan pendaki mendirikan shalat, jadi harusnya gak ada alasan malas buat gak solat nih para penghuni Pondok Saladah. Disana juga ada kran untuk air wudhu yang juga bisa diambil untuk masak atau mencuci peralatan masak. Satu lagi, seperti di judul bahwa di Pondok Saladah, saat kamu ingin pulang kamu tidak perlu membawa turun sampahmu. Pendaki diwajibkan melapor ke pos yang ada di Pondok Saladah ketika baru sampai disana dan saat ingin turun, kebetulan saat ingin lapor turun kemarin kami membawa dua kantong trashbag dan langsung diberitahu oleh penjaga pos,

”Sampahnya dibuang disana(menunjuk arah pembuangan sampah) saja mas.” Ya kurang lebih begitulah. Baru pertama kali sampah ditinggal, gak dibawa turun, hehe.

Ditambah lagi kelebihannya untuk tiap pos seingat saya selalu ada saver yang siap siaga apabila terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Termasuk saat kami di Pondok Saladah ada pendaki yang sakit dan tidak kuat berada disana karena terlalu dingin, saat itu juga pukul 1.00 dini hari (info yang kami dapat dari rekan pendaki tersebut), langsung di evakuasi turun ke basecamp.

Kurang lebih itu sih hal yang bisa saya sampaikan dari hasil Rp. 65.000 yang kami bayar untuk simaksi pendakian. Jadi, menurutmu itu worth it gak untuk harga yang sebesar itu? Atau mungkin jika ada yang ingin menambahkan atau diskusi bisa kita mulai di kolom komentar. Salam liburan (kalo libur)!

Pendakian Gunung Papandayan : Dimana sih puncaknya?

Pemandangan di Perjalanan Gunung Papandayan.

            “Mendaki merupakan proses naiknya seseorang ke permukaan bumi yang memiliki elevasi lebih tinggi dari posisi sebelumnya. Mendaki merupakan proses yang membuat seseorang menjadi lebih saling mengerti satu sama lain dan menekan ego masing-masing untuk sebuah perjalanan yang telah disepakati tujuan sebelumnya untuk kesejahteraan bersama.”

Jarang ya menemukan kalimat serius pada tulisan saya seperti kalimat awal tadi, ya sebagai pembuka aja sih biar elegan. Oke, Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan mengenai pendakian kami ke Gunung Papandayan yang terletak di Garut, Jawa Barat. Rangkaian pendakian ini kami lakukan kurang lebih selama tiga hari tiga malam. Kami berangkat jumat malam lalu sampai lagi di rumah ahad dini hari. Pada kesempatan ini saya bukan hanya menceritakan perjalanan kami kemarin, tetapi saya juga akan mensertakan estimasi biaya yang mungkin bisa dijadikan oleh teman-teman dari Jakarta dan sekitarnya sebagai acuan apabila ingin mendaki ke Gunung Papandayan. Oke, Langsung saja gan!

            Perjalanan telah direncanakan sejak dua pekan sebelum keberangkatan kami. Saya memulai pembicaraan di salah satu grup wasap yang memiliki potensi untuk membalas rencana saya, dan ternyata benar. Saya bertitah secara persuasif untuk mengajak manusia di grup itu untuk mendaki ke Gunung Gede. Respon datang dari seorang senior saya di SMA dulu yang juga adalah guide pendakian pertama saya di tahun 2014 ke Gunung Gede, Bang Ayat. Tidak ada penolakan untuk mendaki, namun Bang Ayat mengubah destinasi rencana saya ke Gunung Papandayan. Yah, saya juga belum pernah kesana jadi tidak masalah untuk mencoba. Akhirnya, tanggal yang di ajukan oleh Bang Ayat yaitu 5-7 Juli 2019, dan saya setuju. Sebenarnya tadinya saya ingin mendaki berdua dengan teman kuliah saya di Semarang ke Gunung Gede, dan destinasi kami kini berubah ke Gunung Papandayan.

            Singkat cerita, lima orang telah sepakat untuk mendaki ke Gunung Papandayan pada tanggal diatas, yaitu saya, wahyudi dan resi yang mana adalah teman kuliah saya di Semarang, lalu Bang Ayat, dan Shafira atau lebih sering kami panggil Icing yang mana teman sekelas saya selama dua tahun di SMA sekaligus “teman” Bang Ayat. Kami sepakat untuk berangkat dari pangkalan primajasa cililitan tanggal 5 Juli.

            Kami berlima berangkat dari pangkalan primajasa cililitan hampir pukul 10 malam, jika melihat dari diambilnya video yang saya buat saat baru berangkat di bus yaitu pukul 21.50 WIB. Estimasi kami, perjalanan sampai di Terminal Guntur yaitu selama 6 jam perjalanan. Namun, rencana hanya rencana, macet total di perjalanan kami tepatnya di cikampek, alhasil kami sampai di Terminal Guntur kurang lebih pukul 8.30 WIB.

            Sampai di Terminal Guntur banyak yang menanyakan tujuan kami, Papandayan atau Cikuray, ya seperti sudah template yang diucapkan kepada pembawa tas carrier saat turun dari bus. Akhirnya, Bang Ayat dengan teknik lobbying-nya berhasil membuat kami membayar dua puluh ribu rupiah untuk naik angkot sampai ke tempat kendaraan selanjutnya, yaitu mobil bak. Setelah sepakat, kami sarapan dahulu dan bebersih secukupnya dan melakukan perjalanan ke tempat selanjutnya. Oh iya, kami kedapatan subuh masih di bus, jadi kami solat di bus dengan tata cara solat di kendaraan. Seorang traveller muslim harus paham bagaimana cara solat di berbagai kondisi. Jadi, agan-agan harus belajar bagaimana cara solat saat di perjalanan, bukan menjadikan perjalanan sebagai ajang untuk tidak solat.

            Oke, selanjutnya kami sampai di pertukaran kendaraan memasuki kawasan Gunung Papandayan sekitar pukul 10.00 WIB. Kami bertukar kendaraan dengan menggunakan mobil bak  dan harganya juga sama yaitu dua puluh ribu. Mulai darisini perjalanan terus menanjak, dan saya menahan betapa pegalnya bokong ini duduk di mobil bak yang … ah sudah, nanti ente rasakan saja sendiri ya gan. Kami sampai di gerbang pembayaran pukul 10.30 WIB, dan baru kali ini saya bayar sebesar ini untuk bisa masuk ke kawasan pendakian. Tidak kaget, karena sudah mencari referensi sebelum mendaki berapa harga tiketnya. Yah, maklum lah kebiasaan mendaki gunung di Jawa Tengah yang tiket masuknya murah bukan main.

            Setelah sampai di pos pendakian, kami melakukan lapor dan ditemani oleh Abah sopir mobil bak untuk lapor di pos 3. Iya, tulisannya pos 3, gak tau dimana pos 1 dan 2 nya. Setelah itu kami duduk-duduk dan makan gorengan, packing ulang pembagian logistik yang merata, lalu pakai pelembab wajah yang membuat wajah saya seperti badut bahkan ditertawakan ibu warung sebelah, kemudian berangkat kira-kira pukul 12.15 WIB.

Gerbang Pendakian Gunung Papandayan.

            Dalam perjalanan ini saya baru merasakan ramainya pendakian. Bukan ramai karena pendaki yang ingin bermalam di tempat camp, tapi banyaknya wisatawan yang hanya main-main untuk naik ke daerah kawah Gunung Papandayan. Disana juga ada ojek yang mengantarkan sampai ke atas hampir tempat kawah yang kalau tidak salah biaya PP-nya itu sepuluh ribu, dan apabila kamu naik dengan abang ojek itu maka turun juga harus sama abang yang sama. Informasi ini saya dapatkan dari bapak ojek yang membawa saya turun saat pulang dari gerbang ke tempat angkot.

            Perjalanan di Papandayan ini saya tidak begitu memerhatikan mana pos-pos nya karena saya fokus ke perjalanan yang selalu disuguhi keindahan alam yang jarang saya dapatkan di pendakian gunung di Jawa Tengah. Perjalanan ditemani pemandangan batu kapur yang hanya terbatas pada bukit tinggi, asap dari kawah yang selalu membumbung tinggi, mba-mba pendaki lain yang … ah jangan dibahas. Mata harus dijaga untuk yang menunggu dirumah, lah emang udah ada? Siapa? Emak? Hahaha.

Foto Keluarga di Perjalanan.
Foto Keluarga di Perjalanan.

            Kami mengambil jalur menuju Gober Hood dan akan camp di Pondok Saladah. Kata Bang Ayat dulu hanya ada jalur ini saat dia terakhir kesini. Namun sekarang sudah ada jalur berupa tangga alami yang menuju langsung ke Hutan Mati yang mana terkenal sebagai tempat foto andalan di Gunung Papandayan. Setelah haha hihi sambil jalan, kami tiba di Gober hood sekitar pukul 15.30 WIB. Kami sempat makan seblak di warung yang ada disana, satu porsi seblak seharga 10 ribu, ya lumayan kok enak anget-anget. Setelah makan-makan disana kami langsung menuju pondok saladah, dan sampai sana kira-kira pukul 16.00WIB.

            Kami mendirikan tenda, solat, dan masak-masak di Pondok Saladah. Logistik kami sangat berlimpah, kami membawa banyak sosis, bakso, dan crab stick untuk dibakar, lalu bawa juga ayam bumbu siap goreng, lalu bawa mie rebus dan mie goreng yang berlimpah, lalu lalu lalu … aduh banyak makanan pokoknya. Ditambah si Icing juga bawa bahan mentah untuk membuat cilok, dan itu terwujud. Kami makan cilok tangan kiri buatan icing disana. Wueeeeenakk gan!

            Sedikit kisah di pondok saladah, kami empat laki-laki melakukan solat magrib duluan, sedangkan Icing menunggu tenda, sambil memasak cilok. Lalu tenda tetangga kami diserang oleh Babi hutan, yang menyebabkan robeknya tenda pendaki tersebut dan babi itu sukses membawa sekantong plastik yang sepertinya adalah makanan pendaki tersebut. Tenda tersebut sangat dekat dengan tanda kami, tepatnya lebih diatas sedikit dari tenda kami. Saat kejadian itu Bang Ayat sudah balik ke tenda dan dia sudah siap tongkat untuk meng-hit babi itu, begitu katanya XD.

            Semakin malam, kami membagi tugas. Ada yang memasak dengan kompor, ada yang menyiapkan api untuk bakaran, ada yang makan sambil melihat yang lain kerja. Kami iri melihat pendaki lain yang sudah memiliki api unggun yang besar, dan mereka berhangat disekitarnya, adapun kami menyalakan api saja susah sambil batuk batuk dan pegal untuk mengipas kayu bakar yang juga sedikit, ditambah arang yang kami bawa juga. Akhirnya, jalan keluar telah terlihat. Ternyata pendaki tetangga kami itu membeli kayu bakar di warung yang ada di Pondok Saladah ini dan bisa disusun oleh bapak penjual kayu bakarnya juga sampai apinya nyala, mantul bukan. Akhirnya kita mengikuti jejak pendaki lain itu dan jadilah api yang menghangatkan sekaligus membakar sosis, bakso, dan crabstick kami. Bakar-bakar di gunung ternyata tidak seasik yang dibayangkan, gak usah lah gaes BBQ-an digunung kalo gak sama jasa guide atau porter, repot deh. Kami bakar-bakar sambil batuk-batuk dan makan ditemani banyaknya bintang di langit. Harus liat! Langitnya itu rame banget bintang gaes!

Akhirnya Api Menyala.
Foto Gaya Sahabat Menatap Bintang. lol.
Milky way dari Pondok Saladah.

            Kami berburu foto sampai jam 23.00 setelah itu baru balik ke tenda untuk tidur dan persiapan menikmati fajar besok di hutan mati. Saat kami sedang foto-foto langit, kami diajak ngobrol oleh salah satu pendaki asal Jakarta juga yang ternyata admin di salah satu akun instagram pendakian, dan kami ngobrol banyak saat itu sebelum pendaki itu pergi untuk balik ke tenda mengurus temannya yang sedang tidak enak badan.

            Pagi pukul 4.15WIB kami bangun, Solat Subuh dan langsung persiapan ke hutan mati. Kami membawa beberapa tusuk makanan yang belum kami bakar semalam untuk kami masak di Hutan Mati. Kami tiba di Hutan Mati kira-kira pukul 5.30, lalu kami menikmati matahari terbit dengan pemandangan kawah papandayan.

Fajar di Hutan Mati.
Wahyudi di Hutan Mati.

            Setelah puas berfoto, kami hendak memasak apa yang kami bawa. Dan ternyata, saya yang lupa membawa kompor. Hebat sekali. Jadi kita makan roti dengan susu kental manis, sebelum akhrinya melanjutkan perjalanan balik ke Pondok Saladah dengan membawa makanan yang harusnya dimasak tapi masih tetap belum dimasak karena gak bawa kompor.

            Kami balik dan masak-masak untuk sarapan, tidak lupa memberi kepada tetangga berupa lauk ayam gorang. Sungguh baik sekali pendaki seperti kami. Ya gimana, kenyang dan masih banyak makanannya. Kapan lagi berbagi ayam goreng di gunung, harus dibagikan kenikmatan ini. Lalu kami berkemas dan siap pulang dari Pondok Saladah sekitar pukul 11.00 WIB

Foto Keluarga di Pondok Saladah Sebelum Pulang.

            Kami pulang lewat jalur yang baru, yang langsung menuju ke Hutan Mati. Kami tidak ke Tegal Alun, tidak juga ke Puncak Papandayan karena waktu kami terbatas dan besok saya harus magang hari pertama masuk. Jadi seperti judulnya, dimana sih puncaknya? Saya juga gak tau dimana. Adapun spot foto bersama edelweiss selain di Tegal Alun yaitu ada juga di sekitar Pondok Saladah. Bisa di eksplor asal aman ya gan.

Foto Keluarga di Hutan Mati Dalam Perjalanan Pulang.

            Mungkin sekian ya gan ceritanya, langsung saja ke detail perjalanan dan biaya perjalanan untuk referensi jika ingin mendaki ke Gunung Papandayan.

Asumsi waktu pendakian :

Hari ke 1

21.00 – 22.00 Menunggu bus Primajasa di pangkalan cililitan

22.00 – 8.30 Perjalanan menuju Terminal Guntur

Hari ke 2

9.00 – 10.00 Perjalanan naik angkot ke pertigaan pergantian mobil bak

10.00 – 10.40 Perjalanan ke Gerbang Pendakian Gunung Papandayan

10.40 – 12.15 Persiapan dan leha-leha di warung

12.15 – 15.30 Perjalanan menuju Goberhoet

15.30 – 16.00 leha-leha dan perjalanan menuju Pondok Saladah

16.00 – 23.00 Mendirikan tenda, masak-masak, dan lainnya sampai tidur

Hari ke 3

23.00 – 4.15 Tidur nyenyak

4.15 – 5.00 Solat dan persiapan menuju sunrise di Hutan Mati

5.00 – 5.30 Perjalanan ke Hutan Mati

5.30 – 7.30 Menikmati keindahan Hutan Mati

7.30 – 8.00 Perjalanan ke Pondok Saladah

8.00 – 11.00 Masak, Makan, Packing, dan Persiapan pulang.

11.00 – 12.30 Perjalanan pulang sambil foto-foto di jalan.

12.30 – 14.00 Perjalanan ke Terminal Guntur

15.00 – 1.00 Perjalanan pulang ke Jakarta

Asumsi biaya pendakian :

Angkutan Online Rumah – pool cililitan PP Rp. 40.000

Primajasa Jkt-Garut Rp. 52.000

Angkot PP Rp. 40.000

Mobil bak/Ojek PP Rp. 50.000

Simaksi Rp. 65.000

Primajasa Garut-Jkt Rp. 60.000

Total biaya transportasi dan simaksi Rp. 307.000

*Biaya logistik dan lainnya silahkan disesuaikan dengan manajemen pendakian masing-masing.

            Mungkin ini informasi yang bisa saya sampaikan ke teman-teman pendaki, kalau memang dekat-dekat ini ingin mendaki ke Gunung Papandayan. Semoga bisa bermanfaat buat teman-teman pendaki, jika ada kekeliruan mohon maaf dan bisa di koreksi. Sampai berjumpa di post lainnya. Wassalamu’alaikum!

Sumber foto :
Dery Rizki Purwanto
Bang Ayat

Pendakian Gunung Semeru : Sambil Menyelam Minum Air di Ranu Kumbolo

Edelweis Kalimati

Bismillah,

Berawal dari wacana untuk muncak Gunung Ciremai atau Cikuray, yang akhirnya di batalkan H-3 keberangkatan karena kekurangan personil. Saya melihat chat yang menggiurkan di Grup Geodesi angkatan saya,

“ada yang mau ikut proyekan bisa pc aku ya.” Begitu yang saya baca chat dari Ketua Himpunan Geodesi Undip periode 2018 yang receh orangnya XD.

Karena emang sudah sangat berhasrat ingin naik gunung, saya akhirnya chat ke teman saya yang punya wacana ingin ke Gunung Semeru dan masih kurang personil. Kebetulan waktu pendakian yang direncanakan yaitu di sela kekosongan waktu proyekan yaitu 5-10 Juli berangkatnya dari Semarang. Waktu yang ditetapkan proyekan waktu itu yaitu tanggal 2-3 Juli di Semarang, dan kosong sampai 10 Juli, lalu dilajutkan 11-13 Juli di Jakarta. Ditambah lagi yang saya pikirkan yaitu tidak usah memikirkan akomodasi Semarang-Jakarta karena sudah ditanggung perusahaan terkait.

“Bay, aku ada ide sih kayanya bakal ikut ke Semeru nih. Aku ikut proyekan biar sekalian ke Semarang dan ongkos kan udah di bayarin” Chatku ke Bayu, yang mengajak untuk ke Semeru.

Dengan demikian saya menjadi orang keempat yang join di Tim GD16 Semeru, itu nama timnya saya buat-buat sendiri sih. Setelah sebelumnya ada Yoga, Bayu, dan Nada disusul Ando, Marissa, dan Kris setelah saya. Insya Allah kami bertujuh berangkat ke Semeru 12 Juli karena ada perubahan dari Timeline proyekan, yang harus kami kalahkan dengan merubah jadwal keberangkatan ke Semeru. Setelah diizinkan oleh orangtua untuk berangkat belajar lewat proyekan dan sekaligus liburan naik gunung, yang padahal harusnya saya masih kangen-kangenan di Jakarta bersama keluarga, akhirnya saya berangkat 30 Juni malam dari stasiun Pasar Senen ke Stasiun Poncol semarang bareng dengan Marissa.

Babak 1, Trainer?

Sebenarnya saya sedikit kurang nyaman saat menyebut kegiatan ini ‘proyekan’. Kenapa? Karena dilihat dari kegiatannya. Saya lebih suka menyebutnya dengan sebutan yang lebih keren, yaitu Training of Trainer (ToT). Dalam kegiatan ini, kami para peserta dilatih untuk bisa mengoperasikan GPS Geodetik Comnav T300 untuk nantinya bisa melatih peserta di Jakarta dari Badan Pemerintahan. Kegiatan selama dua hari 2-3 Juli diadakan di Semarang, di Hotel UTC Semarang, yang kami dapatkan tentunya adalah Ilmu mengenai kegeodesian yang harusnya saya dapat di semester enam, dan akomodasi serta makan siang. Nah! Ini kenapa saya sebut dengan peribahasa “Sambil menyelam minum air” minum airnya di Ranu Kumbolo lah ya. Menyebut seperti itu karena saya bisa melakukan dua hal sekaligus, ditambah lagi dapat ilmu baru, sertifikat, biaya akomodasi dan fee. Udah dapet ilmu dikasih uang juga, sekalian bisa main ke Gunung Semeru juga. Alhamdulillah.

Pelatihan Lapangan
Unboxing Comnav T300

        Setelah pelatihan 2-3 Juli, ada kekosongan hingga menunggu berangkat ke Jakarta. Kami berangkat ke Jakarta dengan Bus dari Semarang tanggal 8 Juli pukul 03.00 dinihari.

 Singkat cerita, saya dan kawan-kawan telah mengikuti pelatihan 2 hari di Semarang untuk mengoperasikan alat Comnav T300 seperti gambar diatas. Serta, waktu luang sudah terlewati dan tiba hari berangkat ke Jakarta. Rombongan Trainer berangkat dari Gedung Serbaguna Undip hari ahad  pukul  3.00 dinihari, saat itu tengah berlangsung perempat final piala dunia Rusia vs Kroasia. Kami sampai di lokasi Hotel Mercure Ancol, Jakarta, kurang lebih pukul 15.00. Setelah sampai, kami pun langsung bekerja menyiapkan alat yang nanti malam akan mulai di cek kelengkapannya oleh masing-masing kantor pertanahan seluruh Indonesia. Malam pertama ini sebagai pembukaan acara pelatihan sekaligus pembagian alat kepada seluruh peserta pelatihan. Kira-kira pukul 23.00 kami berangkat menuju hotel tempat kami tidur di daerah mangga dua, dan harus kembali ke Ancol besok pagi pukul 09.00.

Kok Masih Kosong?

          Tak terasa matahari pagi sudah bersinar, saya bangun dan solat subuh. Setelah itu tidur lagi sampai hampir jam 07.00 dan bersiap untuk sarapan dan berangkat ke Ancol bersama rombongan. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang, dimana kami akan menerapkan ilmu yang telah kami pelajari selama di Semarang kemarin. Pengenalan alat gelombang pertama yaitu pukul 10.00-12.00  untuk mengenalkan metode iternal radio yang digunakan pada Comnav T300, lalu isoma, lanjut lagi pukul 13.30-16.00 untuk pengenalan metode NTRIP menggunakan koneksi internet dan juga metode CORS. Sekitar pukul 15.00 datang Bapak Menteri Agraria dan Tata Ruang, yaitu Bapak Sofyan Djalil untuk memantau keadaan pelatihan serta menjadi pembicara pada kesempatan tersebut. Setelah itu, kami Isoma kembali, dan di malam hari hanya membantu sedikit dalam pengolahan data. Karena kami tidak terlalu berperan pada malam itu, saya meminta izin kepada Koordinator kami, yaitu Mas Icha, untuk pulang kerumah di Cibubur hanya satu malam ini, dan besok pagi sudah ke Ancol lagi. Akhirnya dibolehkan, dan saya berangkat ke Cibubur  bersama dengan Julio, salah satu teman seangkatan saya di Geodesi Undip, karena dia bilang mau ikut dan punya ambisi untuk bisa mendatangi seluruh rumah temannya sesama Geodesi Undip. Sepertinya rumah saya menjadi yang pertama, entahlah. Kami berangkat dari Ancol pukul 20.16 dan tiba dirumah saya kurang lebih pukul23.00. Ya, karena ingin menyempatkan diri untuk bisa pulang lagi kerumah sebelum kabur lagi. Dan jam 09.00, saya harus cabut lagi ke Ancol untuk ikut rombongan pulang ke Semarang. Tentunya banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari pengalaman beberapa hari menjadi seorang trainer alat baru XD semoga ilmu yang saya dapatkan berkah.

Hari H di Lapangan, depan Hotel mercure Ancol.
Panggung ini kosong, mungkin emang untuk Foto.
Trainer!

           Bus kembali ke semarang, dan sampai di semarang pada hari Rabu 11 Juli, pukul 01.00. Saat sampai saya tidak langsung tidur, tapi masih menyempatkan diri untuk menonton jagoan piala dunia yang pagi itu berhadapan dengan Belgia. Setelah menang, baru saya tidur. Namun, saat bangun merasa tidak nyaman, nafsu makan hilang, lalu badan demam dan sedikit pusing. Sedangkan, besok jam 11 pagi kereta berangkat ke Surabaya untuk perjalanan ke Semeru yang sudah disiapkan. Qadarullah, ternyata saya masuk angin dan kelelahan, jadi full istirahat dan minum tolak angin pada hari itu hingga esok hari. Sebenarnya tidak istirahat full, karena saya harus beli beberapa logistik dan meminjam kamera. Malam hari pun dilakukan persiapan akhir sebelum berangkat dikos saya, tentunya sesudah izin ibu kos bahwa akan ada perempuan di kosan tidak sampai larut malam. Keesokan harinya, Alhamdulillah, saya benar-benar merasa sehat, fit, seperti biasanya. Dan kami memulai perjalanan setelah sarapan di warung makan Mas Gepeng, di Perumda Tembalang.

            Babak 2, Semeru!

Dalam tulisan ini saya tidak akan menceritakan detail perjalanan Tim GD16 Semeru, tapi lebih ke hal-hal yang menurut saya perlu di ceritakan saja. Untuk Rundown dan manajemen perjalanan bisa didownload disini. Perjalanan pertama kami menuju Stasiun Pasarturi Surabaya, sebelum melanjutkan ke Stasiun Malang. Kenapa ga langsung Semarang-Malang? Karena tiket kereta yang murah sudah habis. Dan ini salah satu cara dapat yang murah. Sampai di Surabaya sekitar pukul 16.00, kami menunggu kereta ke Malang yang berangkat pukul 00.00, cukup gabut bukan? Ya, benar sekali. Lalu kami nongkrong di salah satu warung tidak jauh dari Stasiun Pasarturi untuk makan dan ngopi ganteng, sekaligus menonton kekalahan Pinalty garuda muda yang telah berjuang dengan seluruh kekuatannya melawan Malaysia. Saat nongki tersebut, karena gerombolan tas Carrier kami yang menarik perhatian, kami disamperin oleh seorang pria yang usianya sebaya kami. Ternyata setelah dia ngobrol panjang lebar dengannya, dia adalah mahasiswa sejarah di Unair. Dia juga sambil menulis di detik travel, dia memperlihatkan tulisannya di web detik.com sembari menunjukkan namanya di KTM bahwa dia tidak berbohong. Dia bilang beberapa kali dibiayai untuk naik ke gunung ini itu untuk mencari hal-hal menarik disana. Dia juga sudah mendaki Gunung Rinjani, Raung(trek ter-ekstrim di pulau jawa), dan termasuk Semeru yang akan kami daki. Pertemuan ini lalu ditutup dengan saling follow instagram, supaya pertemuan kita tidak berakhir disini.

Lanjut di stasiun Malang, akhirnya kami bertemu dengan abang-abang dari bogor yang sudah janjian dengan Marissa untuk join naik jeep biar lebih murah. Setelah oke, lanjut ke rumah pemilik Jeep di daerah Pasar Tumpang untuk Solat Jumat, sebelum naik Jeep berangkat ke Ranu Pane. Setelah Briefing dan Cek perlengkapan di ranupane, kami berangkat sekitar pukul 16.30, terus berjalan hingga semua total sampai di Ranu Kumbolo pukul 23.00. Malam itu, Ando dan Bayu lebih cepat menuju ke Ranu Kumbolo untuk mendirikan tenda terlebih dahulu. Kami beberapa dibelakang berjalan pelan karena salah satu anggota kami ada yang kurang fit akibat belum makan siang, sedangkan tenaga terus terkuras dan angin sangat dingin. Pilihan yang tepat Bayu dan Ando duluan mendirikan tenda, dan kami saat tiba langsung masak untuk makan hingga akhirnya baru bisa tidur pukul 01.00. Kami ucapkan terimakasih juga untuk Bang Rahmat yang menemani jalan pelan di belakang, sabar, karena juga sudah berpengalaman di Semeru ini, meski hanya memakai kaos tipis di udara yang dingin membantu mencari tenda kami di Ranu Kumbolo.

Ranu Kumbolo!(yoga, ando, nada, kris, marissa, dery, bayu)
Masih Ranu Kumbolo

            Saat bangun di pagi hari, yang saya lihat hanya kabut, dan udara dingin. Kurang lebih satu jam sambil kami menyiapkan sarapan, akhirnya kabut mulai tersingkap, dan muncul apa yang orang-orang bilang “Surga nya Semeru”. Sembari menikmati indahnya Ranu Kumbolo, akhirnya kami packing dan berangkat menuju Kalimati. Kalimati, tempat untuk mendirikan tenda terakhir sebelum melakukan Summit Attack menuju puncak mahameru. Kami berangkat dari Ranu Kumbolo pukul 12.00, dan sampai di Kalimati pukul 16.20, setelah melewati Oro Oro Ombo, Cemoro Kandang, Jambangan, hingga sampai Kalimati. Kami menggunakan strategi yang sama, yaitu Ando dan Bayu duluan untuk mendirikan tenda. Terimakasih kawan, wkwk. Lagi-lagi Ando dan Bayu yang mengambil Air di sumber air Kalimati, yang jaraknya lumayan jauh. Terimakasih lagi kawan, wkwk. Sedangkan kami yang tersisa asik foto-foto lalu menyiapkan makan sore sebelum tidur dan bangun lebih awal untuk Summit Attack. Kami tidur pukul 19.00 dan bangun pukul 22.00, lalu memasak air untuk minum-minuman hangat dan persiapan Summit Attack, dan berangkat tepat pukul 23.30. Pada kesempatan Summit Attack ini, kami berterimakasih pada Kris karena telah menjaga tenda kami. Menurut kami itu adalah keputusan yang baik mengingat jalur pendakian yang memang berat saat dari kalimati menuju puncak, dan jangan pernah menyesali keputusan tersebut. Seperti apa yang saya bilang ditengah perjalanan antara cemoro kandang dan jambangan, sebelum akhirnya saya yang membawa karriermu, mengutip dari perkataan senior saya di SMA, bang ayat (lu lagi bang),

“Yang terpenting bukan seberapa tinggi gunung yang didaki, tapi pelajaran apa yang bisa dibawa pulang setelahnya.”

Lagipula untuk sampai ke kalimati juga sudah sangat melelahkan, dan bukan hal sepele.

Ranu Kumbolo, dari Tanjakan Cinta
Oro-Oro Ombo

              Kami muncak hingga sangat lelah, sampai dipuncak pukul 6.20, hampir 7 jam berjalan naik, memang begitu nyatanya yang sering dibilang saat telah memasuki batas vegetasi di Semeru yang merupakan pasir-pasir,

“Naik tiga langkah, turun satu langkah.”

Ya, atau sejenisnya, saya dengar beda-beda. Yang jelas naiknya tidak efektif. Memang bisa dibilang lambat dibanding abang bogor yang berangkat pukul 01.00 dan sampai puncak pukul 5 lewat dikit lah.

Mahameru!

Karena di puncak sangat kencang anginnya, jadi kami hanya sebentar disana, iya sebentar menunggu Marissa dan Yoga yang kurang lebih setengah jam baru sampai setelah kami tunggu di puncak. Setelah foto-foto, kami segera turun, karena juga sudah agak siang dipuncak dan adanya larangan harus turun dari puncak pukul 9 atau 10. Dalam perjalanan turun, sebaliknya, untuk sampai ke tenda kami hanya butuh waktu satu jam setengah. Karena saat turun hanya tinggal merosot saja, mungkin bisa dilihat di youtube bagaimana rasanya menyenangkan saat turun dari mahameru. Saya, Ando, Nada, dan Bayu sudah sampai di tenda terlebih dahulu dan sudah masak-masak air untuk minuman rasa-rasa, ngobrol-ngobrol juga dengan abang-abang bogor yang tendanya sebelahan. Setelah minum habis, saya langsung tepar di tenda, dan tidur hampir satu jam sebelum akhirnya terbangun, benar-benar terbangun.

Saat mulai bangun saya ngelantur bertanya “Marissa sama Yoga udah balik?”, lalu Ando menjawab, “Belum, ini aku dari pintu pendakian puncak belum lihat mereka.” Sedangkan waktu sudah hampir menunjukkan pukul 12.00, padahal kami sampai tenda tadi jam 9.30. lalu aku bangun, meminta pendapat ke Ando juga apa kita susul saja kembali ke atas. Dan Akhirnya sepakat, Aku dan Ando naik lagi ke atas dengan membawa botol air berisi setengah botol 1,5lt dan tabung oksigen. Sedangkan Bayu mengambil Air sendiri di sumber air.

Jalur pendakian naik mulai sepi, karena memang ini sudah terlalu siang. Setiap berpapasan dengan pendaki, Ando selalu bertanya, “Mas, diatas lihat laki-laki gondrong pakai jaket oren dan berkacamata? Sama cewe satu juga pakai jaket oren?.” kebanyakan menjawab samar-samar, ada yang bilang lihat ada yang bilang tidak.

Sampai akhirnya kami melewati warung dagangan seperti biasanya di pos-pos sebelumnya. Lalu ada Mas-mas Gondrong dengan perawakan sedikit gemuk yang mungkin sudah bisa disebut bapak-bapak dari wajahnya sedang duduk menikmati makanan yang dijual disana, bapak gondrong tersebut bertanya kepada kami, “Loh masnya mau naik jam segini?”

“Ngga pak, mau cari teman kami daritadi turun belum sampai tenda.” Jawab kami.

“Laki sama cewe ya? Lakinya gondrong?”, jawab bapak itu.

“iya pak benar.”

“Iya ada dibelakang, jalannya pelan banget. Kayanya yang cewenya kecapean banget itu mas.”, jawab bapak gondrong.

“oiya pak kami susul keatas, terimakasih pak.”, perasaan kami jadi lebih lega. Setidaknya mereka sudah masuk daerah vegetasi. Sehingga tidak mungkin masuk ke daerah blank 75.

Setelah jalan naik lagi, saya bersama Ando akhirnya melihat kenampakan wajah Yoga. Dan kami berteriak, serta mereka mempercepat langkahnya menuju kami. Memang yang terlihat dari wajah Marissa begitu pucat kelelahan. Akhirnya Marissa diberi minum air yang kami bawa, karena air mereka sudah habis sejak masih baru turun dari puncak katanya. Air yang saya refill penuh di botol minum milik bayu di puncak tadi pagi.

“gua cari semangka dulu ya di warung tadi”, ucap saya dengan spontan.

Akhirnya saya turun dengan berlari ke tempat warung tadi. Tepat sekali bapak penjual sudah kemas-kemas ingin turun, lalu akhirnya saya membeli semangka dan minuman ion lalu kembali naik lagi ketempat mereka tadi. Belum lama saya naik, sudah bertemu dengan mereka yang mana ternyata Ando menggendong Marissa turun dengan cepat. Memang, kuli itu si Ando. Setelah bertemu, akhirnya Marissa makan semangka dan minum yang saya bawa, lalu kami turun lagi dengan Ando masih menggendong Marissa. Sempat berhenti sejenak untuk Ando mengambil nafas istirahat.

“Der, gantian ini kau gendong Marissa.”, kata Ando.

Aku hanya bisa berkata,”Aslilah.” hahaha.

Lalu Ando kembali menggendong Marissa dan bilang,”Berat kali kau Mar” hahaha.

Lalu tiba kami memasuki wilayah padang rumput di Kalimati, dan Marissa sudah jalan sendiri. Saat sampai tenda kami makan yang mana sudah dimasak oleh Kris dan Nada, lalu tidak lama setelah kami tiba Bayu dating membawa enam botol air di tasnya. Setelah istirahat, kami packing dan target langsung turun hari ini juga ke Ranupane. Semua sudah siap, Kami semua sudah fit kembali, termasuk Marissa yang kembali kuat. Lalu kami mulai perjalanan pukul 15.30 setelah Solat Ashar di Kalimati. Perjalanan berlangsung cepat dan hanya membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai di Ranu Kumbolo. Di Ranu Kumbolo kami solat Magrib dan masak air untuk ngopi sejenak, lalu menjalankan perjalanan lagi pukul 18.30. Karena jalan mulai gelap, dan sepi. Ada beberapa hal aneh yang kami alami. Kami berjalan dengan urutan dari depan ke belakang sebagai berikut, Bayu, Kris, Marissa, Yoga, Nada, Saya, dan Ando di belakang. Dalam perjalanan Ando sempat bilang bahwa ada yang meninarinya dari belakang dan membentuk bayangan tubuhnya. Padahal dibelakangnya tidak ada siapa-siapa, dan ternyata itu adalah pantulan cahaya dari depan. Bukan apa-apa ternyata. Aman.

Kepala kami selalu tertunduk mengamati jalan dengan pencahayaan yang ada dan beberapa kali melihat kedepan takut kepala terpentok pohon. Pendaki lain sudah mulai tidak terlihat mulai dari Pos 3. Tidak ada lagi salam, Misi mas, misi mba, semangat mas, semangat mba, dan lainnya. Kami sangat mengantuk malam itu di perjalanan, berhenti sedikit bahkan saya bisa ketiduran bersandar diatas Carrier. Diantara Pos 1 sampai Ranupane, kami merasa perjalanan sangat panjang dan tidak sampai-sampai. Saya sendiri juga ragu apakah ini jalur yang benar, karena rasanya seperti memutari bukit dan melewati jalan yang sama berulang kali, Bayu juga bingung karena cuma mengikuti jalur. Ando dan Yoga tetep kekeh bahwa terus saja ikuti jalur ini, jangan berbalik arah. Bayu bilang bahwa tadi dia seperti melihat lampu pendaki didepan, tapi kenapa setelah kita berjalan sangat cepat tanpa istirahat tidak sampai bertemu dengan pendaki tersebut. Mungkin pantulan cahaya saja dari serangga. Ditambah Marissa, dia berkata dengan penuh kesenangan.

“Nah itu didepan ada dua pendaki lagi Istirahat, coba Tanya.”, kata Marissa. Padahal samasekali tidak ada orang, dan dia pun kaget saat ternyata didekati disana tidak ada siapa-siapa. Dan sempat diam sejenak seperti takut dengan apa yang dia rasakan barusan. Singkat cerita kami sampai di Ranupane pukul 23.00 dengan semua pundak kami terasa sangat sakit. Setelah sampai kami Makan Bakso Malang yang ada di Ranupane, sungguh lezat kawan. lalu bebersih, solat, dan tidur. Saat besoknya, di Stasiun Pasarturi, Marissa bercerita bahwa dia benar-benar melihat dua pendaki saat malam itu, tapi dia bingung kenapa Bayu didepan lewat saja tanpa menyapa kedua pendaki tersebut, begitu juga dengan Kris yang biasanya selalu menyapa pendaki.Ternyata saat didekati tidak ada apa-apa. Disitu yang membuat dia merasa takut malam itu. Ya, mungkin efek ngantuk juga bisa, atau lapar, atau yang lain.

Mungkin sampai disini cerita panjang saya yang tidak terasa sudah mencapai 2700an kata. Sebenarnya yang menyelam sambil minum air itu bukan saya saja, tapi seluruh Tim Semeru GD16 ini kecuali Yoga. Katanya, dia disuruh orangtuanya untuk ngecat rumah, jadi gabisa ikut proyekan XD. Semoga bisa diambil pelajaran dari tulisan saya ini, Aamiin.

Aku Ingin Ada Tulisan INDONESIA di Punggungku!


         “Om, Saya sudah di gor”, pesanku dalam sebuah pesan singkat yang ku kirimkan kepada pelatihku. Aku menunggu beliau datang sambil memanjat pohon ceri yang ada di depan gor. “Der, nanti Ibu mau ya cerinya. Itu merah-merah jadi kepengen juga”, Kata Ibu Miftah yang merupakan pengelola gor penuh perjuangan ini. Setelah aku memetik lumayan banyak, aku turun dari pohon dan memberi beberapa ceri merah ke Ibu Miftah. Tidak lama setelah itu, suara motor supra fit Om Budi terdengar sangat khas. Nah, ini dia yang ditunggu.

Sudah hampir satu tahun aku jogging rutin dengan Om Budi, setiap sore di hari Rabu dan Jumat. Beliau adalah pelatih yang paling dekat denganku dari sekian banyak pelatih yang pernah melatihku bulutangkis. Mungkin hal ini karena beliau melihat sedikit mimpiku yang kelewat batas ini, ya aku ingin suatu saat nanti di punggungku ada tulisan namaku dan dibawahnya ada tulisan INDONESIA. Keseriusanku berlatih belakangan ini mungkin juga salah satu faktor beliau untuk tetap istiqomah dalam menerapkan sistem berlatihnya kepadaku. Asal mula jogging rutin sore ini diperuntukkan kami supaya lebih siap dalam stamina. Awalnya, jogging sore rutin ini diikuti oleh sekitar lima orang termasuk aku. Namun, seiring berjalannya waktu mulai berguguran. Ya, seleksi alam, sehingga hanya tersisa aku saja. Bahkan mungkin aku dan pelatihku sering dianggap sebagai ayah dan anak, karena saking seringnya kami jogging sore berdua. Banyak hal keren dari latihan fisik ini, dari awalnya jogging track yang biasa saja, sampai beliau sengaja mencari track yang banyak tanjakannya, atau sambil jogging membawa barbel 1kg di kedua tangan, sampai adu sprint di beberapa meter terakhir. Duh jadi kangen ini. Yang paling keren ya mungkin, kita tetep jogging dengan track yang sama saat Bulan Ramadhan. Cuma lebih sedikit di sore-in aja waktunya, biar pas selesai jogging trus langsung denger adzan maghrib deh. Ya itu, inget banget gimana suasana jogging sore-sore pas puasa sama beliau. Malahan lebih greget lagi, sprint di akhirnya lebih di perpanjang. Sampai kata pelatihku yang lain, atau ini kata ayahnya si Yere yang sekarang sudah di pelatnas, “Bud, lu sama dery puasa? Gile lu bud”. Ya itu ngalir gitu aja, namanya juga lagi ngejar mimpi. Ya tapi asik sih. Dimulai dari jogging sama Om Budi ini, akhirnya aku jadi terbiasa jogging, bahkan sering nambah jogging sendirian diluar jadwal itu. Kadang kalo lagi nggak mood, pikiranku selalu berkhayal aku dimasa depan yang menggunakan seragam kebanggaan pelatnas PBSI yang ada tulisan INDONESIA nya di punggung, supaya semangat bisa naik lagi. Sama kaya pas berjuang untuk ITB, sering bergumam “karena hal-hal menyakitkan ini, akan mengantarkan gua ke ITB”. Malah flashback ITB hahaha.

Selain itu, Om Budi mengajarkan gua gimana caranya latihan low budget. Mengingat saat itu gua adalah anak yang paling sering telat bayaran bulanan. Btw ini jadi gausah formal banget ya nulisnya, biar lebih asik aja gitu. Ya itu diatas juga udah gua certain kan, jogging bawa barbel. Nah selain itu, mungkin buat yang belum tau, jadi para atlet bulutangkis itu kadang pake raket yang berat untuk latihan. Supaya pergelangan tangannya kuat, dan pukulannya badai. Sebenarnya ada raket khusus yang emang di desain berat untuk latihan ini, namun orang-orang punya trik tersendiri untuk buat raketnya jadi berat. Jadi seluruh batang dan frame raket dililit dengan grip handuk(pegangan raket yg dari handuk itu lho), jadi kan nambah tuh massa raketnya karena ditambah massa grip handuk yang terlalu banyak itu. duh kebayang ga? Sebenernya masih ada deh raketnya dirumah, cuma ini berhubung di kosan jadi gabisa fotoin. Nah, beliau ada lagi trik supaya raketnya jadi berat “der, ini lakuin aja habis subuh setiap hari. Nanti pukulanmu keras sendiri”, gitu katanya. Mau tau gua disuruh ngapain setiap habis shalat subuh? Gua disuruh mukul angin. Lu tau kardus susu dancow? Nah, kardus itu dibuka tutup dan alasnya, trus dimasukkin ke frame raket yang buat senar. Jadilah raket gua berkepala kardus, nah gua disuruh mukul-mukul angin yang beraaaaat banget. Karena kan luas penampang dari kepala raket itu jadi lebih besar, dan juga angin tidak bisa menembus layaknya senar raket yang bolong. Jadi taulah beratnya.

Raket Kepala Kardus.

Trus gua juga diajarin beliau memasang senar raket. Karena frekuensi dan intensitas latihan yang semakin tinggi, menyebabkan seringnya senar raket putus. Nah, Om Budi ngajarin gua gimana caranya masang senar raket, dan tentunya gua ga pake senar baru. Tapi pake senar bekas yang dikumpulin di gor ini. Jelas ini ngurangin pengeluaran banget. Lumayan kan menghemat 50rb-an.

Intensitas dan Frekuensi berbanding Lurus dengan Senar sering putus

Diluar itu, banyak hal yang beliau kasih ke gua. Beliau yang cari tau dimana ada pusat pelatihan yang kira-kira bagus dan gua bisa disana latihan gratis, ya meskipun ga kesampean. Buat mimpi gua yang satu ini, gua suka seneng ngingetnya. Pas gua SMP dulu, gua bodo amat sama yang namanya sekolah. Udah mau UN pun masih gatau mau lanjut di SMA mana. Bahkan kalo lu mau liat-liat post jadul gua tahun 2011 itu, gua nyari-nyari tempat latihan klub besar di bandung. Namanya PB. Mutiara Cardinal, jebolan klub yang di pelatnas sekarang tuh Hana Ramadhini, atau yang lagi beken di tunggal putri junior kemarin si Gregoria Mariska. gua tertarik banget buat latihan disana. Ya namun orang tua tetep kekeh supaya gua sekolah, dan ada satu temen gua yang latihan disana. Kira-kira setahun setelah dia gabung di klub itu, dia main-main ke klub kecil gua ini pas dia lagi liburan. Dan senengnya gua, masih bisa main sampe deuce sama dia, yang udah latihan di klub besar. La la la, aku senang sekali. Seminggu sebelum UN, ada Turnamen yang sampe sekarang pun masih diadakan tiap tahun di gor kecil penuh perjuangan ini. Namanya SBC Open. Nah, kebetulan gua mau UN SMP kan tuh, jadi gua ga ada niatan untuk daftar. Eh, tiba-tiba Om Budi bilang “Der, kamu main ya SBC, udah Om Daftarin, gausah bayar”. Wew. Dibayarin yekan, yaudah tinggal main aja ini mah. Eh drawnya kurang beruntung, baru menang satu kali langsung ketemu unggulan pertama. SBC Open ini juga diikuti oleh salah satu junior yang kemarin abis juara Asia Junior lho. Coba cek aja beritanya, Siti Fadia Silva, yang baru kemarenan dapet juara di Ganda Putri di kejuaraan Junior Asia di bintaro kemaren (AJC). Pas jaman gua dulu, si Fadia ini masih kelas 5 SD kalo gasalah, dan dia jadi runner up tunggal putri kelas 5-6 SD. Dan sekarang…… ya lanjut bahas Om Budi, gatau kenapa ya ini gua nulis gara-gara tiba-tiba kangen aja si sama masa-masa dulu. Gua pernah nonton para atlet saat lagi di seleksi untuk masuk pelatnas, atau lebih akrab disebut seleknas. Ini juga dikasih tau sama Om Budi, “Der, lagi ada seleknas tuh di cipayung, nonton aja gratis. Siapatau jadi tambah semangat”, kurang lebih gitulah kata beliau. Pas yang gua tonton waktu itu yang lolos seleksi mas Wisnu Yuli, mba Bellaetrix Manuputty, dkk, ya emang kurang bersinar sih ya. Mungkin mba Bella aja yang kemaren baru bersinar eh tiba-tiba cedera. Gua juga pernah masuk Istora gratis pas seagames 2011. Om Budi ini selalu jadi hakim garis saat ada event-event kejuaraan besar di Indonesia, dia juga wasit nasional yang ber-sertifikat. Nah, pas seagames itu dia bilang “der, mau nonton ga? Kesini(Istora) aja. Nanti ta pinjemin ID Card temen, biar bisa masuk gratis”. Ya ini Ilegal sih, ya jaman dulu belum ngerti, asal gratis mah. Dan dari seagames ini juga gua jadi tambah semangat. Di sapa sama Simon Santoso, nonton cara main Tanongsak yang ajib banget, nyemes mulu kerjaannya, ya banyak pelajaran yang gua ambil dari sini. Cuma, yang bisa gratisan gini pas seagames aja. Kalo pas Indonesia Open itu lebih ketat ticketing-nya :v.

Sebenernya masih banyak lagi momen-momen yang sering gua kenang sih. Ya, rasa kangen ini melahirkan sebuah tulisan yang mungkin sedikit manfaatnya. Mungkin mau nyolong dari post jauh sebelumnya nih sebelum post ini ditutup. “Om Budi, pelatih yang dulu banyak memperjuangkan mimpi gua juga. Dari ngebayarin ikut turnamen, sampe balapan sprint pas lagi puasa 4 tahun lalu, wah saya kangen banget om masa-masa dulu. Saya banyak berubah sekarang om.  Sempet ngobrol-ngobrol lagi sedikit, dari mulai sekolah gua, sekarang gua kuliah dimana, sampe gua nanya pengalaman dia jadi hakim garis kemaren di BCA Indonesia Open Premier kemaren, ternyata dia bilang tahun ini (Indonesia Open kemaren) dia Alhamdulillah dapet full dari awal sampe final jadi hakim garis, soalnya biasanya Cuma 3-4 hari gasampe final. Dia cerita-cerita pas Final dia jadi hakim garis di partai 1,3, dan 5. Dia kagum sama mainnya Tai Tzu Ying, yang ngebabat abis Wang Yihan, “gila itu mainnya Tai Tzu Ying, badannya kecil bolanya dimain mainin aja si Yihan bingung”. “jujur der, pas final itu keputusan saya di challenge 3 kali. Tapi saya gak salah, deg-degan juga takut keputusan saya salah, kalo lagi challenge itu musiknya bikin deg-degan. Soalnya emang mereka itu out dan masuknya tipis-tipis der.” Keren om, bisa nonton deket banget pertandingan gitu sambil menjalankan tugas. Om Budi ini pelatih gua yang keren lah, umur udah kepala 4 kalo main di lapangan masih kenceng. Seumur umur dulu gua latihan, gua Cuma pernah menang 2x dari dia. Salah satu diantaranya pun rubber set sampe ngesot-ngesot. Gua harap gua gaakan bisa ngelupain Jasa orang yang satu ini. Sukses om!”

Dari Yere saat di Belanda.

Seneng lah, sekarang gua kuliah dengan tentram. Temen-temen perjuangan gua yang dulu sekarang udah pada berjuang untuk negaranya.

Ini Juga.

Ya tetep semangat! Kembalikan tradisi juaranya Indonesia ya kawan-kawan! Sekaligus tulisan ini untuk Indonesia yang pada hari ini tepat 72 Tahun Merdeka! Dan kenapa gua bahas Om Budi disini, karena beliau adalah orang yang gua anggap Pahlawan, karena yang gua liat sekarang atau mungkin gua main kurang jauh jadi cuma ngeliat sedikit, ya jarang orang yang hanya ngeliat tekad suatu anak trus dia langsung bela sampe segitunya, ya gitudah pokoknya. yaudah lah yaaa, See you next post!

*Ini adalah repost dari blog sebelumnya

Kisah di Samping Gor

Suatu malam dihari kamis, aku sedang sangat bersemangat berlatih badminton. Tiba-tiba adzan isya berkumandang, kebetulan disamping gor tempatku berlatih ini berdiri sebuah masjid. Aku meminta izin kepada pelatihku untuk melaksanakan shalat Isya sejenak. Kulepaskan sepatu putih dengan sedikit corak batik di bagian belakangnya ini. Aku berjalan dengan tenang menuju masjid. Setelah mengambil wudhu dibagian depan sebelah kanan masjid, aku langsung masuk kedalam masjid tersebut, Masjid Nurul Ikhlas. Ada yang berbeda dari masjid yang lainnya, aku melihat seorang anak dengan wajah yang mungkin sangat familiar. Wajah seorang  Down Syndrome. Entah berapa umurnya, sepertinya sudah tidak bisa dibilang sebagai anak-anak lagi. Rambutnya pendek, hampir botak. Kulitnya cokelat kehitaman, gelap. Tulang punggung kirinya lebih besar dari yang kanan, seakan memberontak ingin keluar. Skoliosis. Ia berada di shaf depan, terus bergerak seakan selalu menginginkan sebuah kegiatan untuk dikerjakannya. Kadang berdiri, kadang duduk. Saat iqamah dikumandangkan, ia terlihat sangat gembira dan langsung mundur untuk ikut shalat berjamaah di shaf paling belakang. Hanya itu yang aku tangkap pada hari itu, tanpa hikmah. Setelah shalat, akupun kembali ke gor dan kembali berlatih.

Pada kesempatan lainnya, aku mengikuti ekstrakurrikuler badminton di SMA ku. Satu kali dalam seminggu, di hari sabtu. Ekstrakurrikuler ini juga menggunakan gor yang sama, dimana tempatku berlatih pada kamis malam. Kegiatan ekstrakurrikuler ini dimulai pukul 10.00 – 14.00, yang mana dipotong dengan istirahat Shalat Zuhur. Setelah kejadian kamis malam sebelumnya, aku jadi memperhatikan anak down syndrome itu setiap kali aku shalat di Masjid Nurul Ikhlas. Ia selalu terlihat saat aku shalat zuhur selama ekstrakurrikuler berlangsung. Sampai saat aku sudah lulus dari SMA, dan aku melatih di ekstrakurrikuler  tersebut untuk kegiatan produktifku selama gap year. Begitulah yang aku alami sampai saat ini ketika aku shalat di masjid itu saat sedang bermain badminton disana. Pandanganku tak pernah kabur terhadap anak itu. Hari-hari disana berlalu, dan mungkin sudah mulai terlihat sedikit hikmah.

Akhirnya, baru tadi aku mencoba untuk terus menarik sebuah hikmah dari pemandangan yang selalu kulihat saat berada di Masjid Nurul Ikhlas ini. Kami, alumni dari ekskur badminton SMA yang selama ini masih sering menepok bulu angsa untuk saling mengejek di lapangan badminton, menjadwalkan untuk bermain di gor yang dekat dengan Masjid penuh hikmah ini pukul 15.00. Aku mengajak adikku yang belakangan ini juga ikut bermain bersama kami, dan kita berdua adalah orang yang tiba pertama kali disana. Jam pada smartphone-ku menunjukkan pukul 15.11. Aku menunggu sejenak diluar gor sambil digoda dua bocah perempuan dari kamar di atas gor yang daritadi berteriak “mas ganteng pakai jaket …..”.

 Aku mengabaikan mereka sampai satu persatu temanku datang. Satu orang datang, ngobrol bla bla bla. Diikuti dengan kedatangan anak down syndrome ini ke depan gor, dengan membawa satu piring plastik, sendok plastik, dan satu botol air mineral tanggung bermerk terkenal. Dia mulai mengambil tanah yang ada di sekitar depan gor menggunakan sendok plastiknya, dan ditempatkan keatas piringnya. Setelah itu, ia menambahkan air ke tanah yang sudah ada di atas piring tersebut dan mengaduknya. Layaknya sedang berimajinasi membuat sebuah makanan yang lezat. Iya lezat, sedikit intermezzo. Dulu guru SMP ku berkata, “Jadilah orang sukses, yang berbeda dari yang sudah ada. Contohnya jadi tukang roti, namun bahan bakunya bukan gandum, tapi batu kali”. Aku dan teman-temanku dulu yang mendengarnya hanya tertawa, namun sekarang aku berpikir banyak makna didalamnya. Terimakasih guruku yang sudah mengenalkan teknik mimpi di siang bolong di awal pertemuan sebelum masuk ke materi pelajaran J. Cukup. Aku khawatir anak itu akan memakan masakan lezat buatannya itu, sampai akhirnya tiba satu lagi temanku. Kedatangannya bertepatan dengan adzan Shalat Ashar. Aku masih sedikit berbincang dengan kedua temanku itu. Sambil memerhatikan anak tadi, ternyata dia sudah lari keluar gerbang gor dan meletakkan piring berisikan adonan tanah yang tadi ia mainkan. Ia dengan segera memenuhi panggilan yang luar biasa itu. Kedua orang temanku yang sedang hadir adalah non-muslim, jadi aku izin untuk shalat sebentar bersama adikku dan menitipkan tas badmintonku kepadanya. Aku mengikuti jejak anak tadi untuk memenuhi panggilan yang luar biasa itu. Di dalam masjid, perhatianku malahan semakin besar kepada anak itu. Aku semakin banyak berfikir. Maha Kuasa Allah, yang menggerakkan hati hambanya untuk memenuhi tiap panggilan yang luar biasa ini. Dalam pandanganku sekarang ada seorang anak yang entah apa yang ada didalam pikirannya, mungkin beberapa orang merasa jijik untuk dekat dengannya, bahkan beberapa orang mengabaikannya dalam kehidupan ini, menganggapnya tidak ada. Tapi anak ini, melepas secara langsung kegiatannya untuk memenuhi panggilan Allah. Kadang, kita yang malahan adalah manusia normal hobinya mengundurkan waktu shalat. Adzan bekumandang, namun masih sibuk dengan pekerjaannya, istrinya, gadgetnya, televisinya, buku pelajarannya, dengan berdalih,

“nanti dulu, belum iqamah.”

Atau mungkin sebagian lainnya berdalih

“nanti dulu, waktunya masih panjang, shalatnya di rumah saja.”

Atau bahkan ada sebagian dari mereka yang tidak tergerak sedikitpun untuk melaksanakan shalat, semoga tipe-tipe buruk itu bukan aku, dan bukan juga kamu. Dan setelah memperhatikan lebih jauh, kurang lebih empat tahun terakhir, aku sudah pernah shalat empat waktu di masjid Nurul Ikhlas ini, dari Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya meskipun dalam hari yang berbeda. Dan aku selalu mendapati anak itu shalat di masjid ini dan selalu di awal waktu ia datang ke masjid. Mungkin suatu saat nanti aku merasakan shalat subuh di masjid ini dan juga melihatnya shalat.

Kenapa manusia ini terlalu lama untuk menarik sebuah hikmah? Saat adzan berkumandang, tidak jarang manusia menganggapnya hanya sebuah rutinitas. Hanya panggilan untuk orang-orang rajin, mungkin begitu yang ada dipikiran beberapa orang. Apa setelah ini muncul malu dari diri kita? Disaat orang yang jauh dari kesempurnaan pun sadar diri untuk mendatangi panggilan Rabb-nya. Mungkin ini hanyalah salah satu kisah supaya kita mulai iri kepada orang yang jauh dari kesempurnaan. Mengapa harus iri? Allah menjaga hati orang tersebut untuk taat kepada-Nya. Kadang kita iri hanya kepada orang-orang yang memiliki materi berlimpah, harta berlimpah, kepintaran. Tapi tidak pernah iri kepada orang yang diberi jalan yang lurus. Dengan mudah ia menyepelekan shalat. Coba kembali dipelajari, besar mana dosa orang yang meninggalkan shalat dengan orang yang berzina?.

Bukankah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi  dan di shahihkan oleh syaikh Al-Albani bahwa dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : 

Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka ia telah berbahagia dan sukses, tetapi apabila shalatnya jelek maka ia telah celaka dan merugi. Dan apabila ia kurang dalam melakukan shalat wajib maka Allah akan berkata, ‘Lihatlah apakah hamba-hamba-Ku memiliki shalat sunnah?’ Lantas disempurnakanlah dengannya yang kurang dari shalat wajib itu. Kemudian yang demikian itu berlaku pula bagi seluruh amalnya.” 

Kenapa masih saja, shalat disepelekan?

Mengambil hikmah dari kejadian ini, semoga kedepannya kita menjadi manusia yang lebih sadar akan keberadaan kita hidup disini dengan kembali mengingat firman Allah ta’ala : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Adz-Dzariyat : 56)

Praktikum Ilmu Ukur Tanah (IUT) Lo Belum Greget Kalo Belum Merasakan 9 Hal ini!

Theodolite bukan punya saya.

     Yow man, buat yang belum tau apa itu IUT ya gua jelasin dikit deh. IUT adalah singkatan dari Ilmu Ukur Tanah. Di Teknik Geodesi Undip sendiri, IUT adalah matkul dasar sebelum lanjut ke matkul ke-Geodesian lain yang lebih kompleks.(*halah). Gua sendiri masih semester dua di Teknik Geodesi Undip, dan sedang merasakan IUT 2 nih. Jadi kalau di Geodesi Undip ada IUT 1 dan IUT 2 bro sis. Selain di Geodesi, IUT juga dipelajari sama jurusan lain seperti Teknik Sipil, Teknik Geologi, Pertanahan, dll. Nah, disini gua mau cerita pengalaman gua yang masih sebutir lada bubuk nih tentang rasanya praktikum IUT. Dan udah gua rangkum menjadi sembilan poin dibawah ini. Ya biar ga lama lagi langsung ajalah, cekidot!

1. Di tanya Orang

     Kejadian yang pertama ini sebenernya belum ada gregetnya sih. Cuma, kadang suka kesel juga kalo keseringan. Di tanya orang ini dalam berbagai hal, tapi yang paling sering adalah ditanya arah jalan. “Mas, kalo arah ke Hukum lewat mana ya?” atau “Mas, kalo mau ke Kedokteran lewat mana ya?” ya gini lah contohnya. Hal ini sebenernya terjadi pas kita lagi ngukur di daerah pinggir jalan, ya serem juga kalo lagi ngukur daerah kebon-kebon tiba-tiba ada mas mas naik motor blusukan kedalem cuma untuk nanya arah aja. Dan kami sebagai orang-orang yang suka ngukur dipinggir jalan ini sebenernya juga kepengen ditanyain yang lain seperti “udah makan belum?” atau sekedar disemangatin “semangat mas ngukurnya”, atau bahkan langsung dibawain Bakso atau Mie ayam juga boleh sih. Ya, intinya tetep senang bisa membantu orang lain sambil melaksanakan tugas.

Sungguh mulia anak ini. setelah memberi tahu arah jalan, ia membantu sang bapak melewati portal.

2. Dikira Lagi Foto

    Pakai tripod, nerawang-nerawang lewat lubang ajaib, seakan-akan kami sedang memotret keindahan alam kampus. Ya , ga jarang kita dikira sedang memotret sebuah objek yang sukarela berdiri di seberang sana memegang penggaris raksasa. Kalo dari pengalaman gua pribadi sih, pas lagi ngukur depan Elektro tuh ada bocah lewat naik sepeda sambil gaya-gaya karena kepedean di foto. Ada juga mbak-mbak naik motor dengan gaya ‘piss’ nya. Ya, biar ga penasaran kalo mba-mba dan mas-mas penasaran dengan apa yang sedang kita intip mungkin boleh nanya atau izin ke kita gitu kalo juga kepengen ngintip *eh. Kisah nyata sih saat kelompok gua lagi ngukur profil melintang di depan RSND-FK Undip, pak satpam RSND kepo dan minta izin buat ngeliat di lubang bidik waterpas, dan setelah itu ia berkata “Oh jadi ini ya mas yang dilihat, jadi lebih gede banget ya keliatannya”, nggeh pak ☺

3. Koreksi Sampai Derajat

    Tentunya dalam pengukuran manusia, hasilnya tidak akan pernah sempurna. Tapi beberapa dari manusia kadang kebangetan dan hasilnya jelek parah wkwk. Ya ini pengalaman kelompok sendiri sih, jadi dari data yang kita ambil itu adalah data Sudut dan Jarak, karena ketidak sempurnaan manusia, maka dibuatlah rumus Koreksi sudut dan Jarak untuk memaklumkan kesalahan kami, namun jika kesalahan masih tidak memenuhi maksimal koreksi dari rumus tersebut ya bisa diukur ulang di lapangan atau …. .Nah, dari kelompok sendiri sih, waktu IUT 1 ngerasain kekonyolan hal ini, asisten lapangan kami sampai takjub mendengarnya tatkala kami memberitahu bahwa koreksi sudut kami adalah 39 Derajat.

4. Ngukur Berdua

     Dalam satu kelompok di IUT ini terdiri dari lima orang. Namun, kadang ada beberapa halangan rintangan membentang yang menjadi masalah dan menjadi beban pikiran. Sehingga tak ayal kadang bahkan saat praktikum kekurangan sumber daya manusia, dikarenakan teman sekelompok ada yang izin dengan alasan yang syar’i. Nah, ini yang baru kemarin ane rasain gan. Dimana saat kami ngukur Cuma berduaan, dan ini berasa capeknya gan. Harus nembak Situasi yang mana datanya lumayan banyak tapi Cuma berduaan. Centering berduaan,  membuat konsep titik yang harus di tembak juga berduaan, minum sebotol berdua, waduh romantic. Sayangnya sama cowo gan. ☹

5. Digigit Serangga

Itu ada bentolnya tapi masih ga greget.

     Sebenernya seru sih, ngukur sambil digigitin nyamuk. Trus bentol-bentol gitu, berasa banget praktikumnya (Praktikum di hutan – sta). Yang keren lagi kemarin nih yang kelompok ane rasain pas ngukur di trotoar FIB, ada semut rang-rang merah(entah itu namanya semut apaan). Semutnya gede, warna merah, gigitannya khan maen. Baru diriin statif(Tripod) eh udah naik-naik aja semutnya. Masuk ke celana, gigit betis, sampe punggung. Untung ga gigit cadangan masa depan. Jangan pernah ngeremehin hal begini nih, karena kata kating ane ada yang sampe DBD gara-gara digigit nyamuk pas ngukur.

6. Berdiri Ditengah Jalan Pegang Rambu Ukur

     Hal ini juga pasti temen-temen Geodesi Undip pernah ngerasain saat harus ngukur profil melintang di depan RSND. Tapi, hal ini kami lakuin juga karena jalan disana relative sepi. Kalo jalan rame ya ….. bikin jadi sepi. Meskipun jalanan sepi, tapi ada momen greget tersendiri saat berdiri ditengah jalan. Kadang kita gamau minggir saat yang lewat itu Cuma motor, ya biarin aja kan jalanan luas ye tong wkwk. Kecuali kalo motor yang lewat itu lagi pada turing.

7. Nembak Sesuatu Yang Lain

     Ini ga lucu men. Jujur sih kalo dari angkatan gua belum pernah ngerasain hal ini. Namun, katanya eh katanya ada beberapa kating yang merasakan hal yang kurang mnyenangkan saat praktikum. Dari kating pernah diceritain sih saat ngukur di daerah FK, karena itu udah mau magrib juga katanya dikejar deadline dan mereka masih membidik. Nah, disaat itu ada yang aneh di sebelah si pemegang rambu ukur gan. Sontak yang melihat hal aneh ini langsung lari gan. Dan cerita kedua yaitu disaat ngukur di belakang gedung rektorat lama, yang mana belakangnya adalah kebon-kebon gan. Saat membidik rambu ukur, sang pembidik ini melihat titik merah seperti mata di sebelah rambu ukur itu gan, dan disaat diperjelas fokusnya ya … . sang pembidik langsung berkata kepada anggota kelompoknya “ayo pulang, udah selesai.” Padahal belum selesai. Nah cerita-cerita ini ada yang ane denger dari orang-orang ada juga yang ane denger langsung dari narasumber yang ngalamin nya sih gan. Mungkin agan agan ada yang pernah ngalamin boleh cerita di komen.

8. Gabawa Payung

Akibat lupa membawa payung.

     Bagi kami, payung adalah pelindung alat. Saat terik maupun rintik-rintik, prioritas kami adalah melindungi alat. Karena kami pakai topi hahahaha. Receh sumps. Ya, karena da beberapa hal yang kurang baik jika berkontak langsung dengan alat, karena itu kami melindungi alat segenap jiwa dan raga (lebay lu tong)

9. Kehilangan Patok

Patok nomaden yang sedang dipegang mas-mas yang lagi merem.

     Mungkin teman-teman bisa melewati hal sedih ini jika tidak kuat membacanya. Suatu hari, ada anak yang mengukur suatu daerah. Ternyata koreksinya besar dan mengharuskan anak itu mengukur ulang. Namun, saat anak-anak malang itu ingin mengukur ulang ternyata patoknya hilang. Mohon bersabar, ini ujian. Sebenarnya kembali kepada pembelajaran pemasangan patok, kadang kami meremehkan hal yang menyebutkan bahwa patok harus kuat dan tidak mudah bergeser/hilang. Ya, hal ini tidak jarang terjadi. Bahkan ada tempat-tempat langganan yang patoknya sering hilang. Buat teman-teman yang kehilangan patok saat ngukur dan ngejar deadline namun selesai tepat waktu, yu are the real MVP. *nangis.

     Nah, sekian mungkin tulisan kurang berfaedah diatas. Dimana tulisan diatas mungkin kurang mengandung nilai pragmatis. Namun, sebagai penulis yang sedang gabut ini saya tetap punya harapan kepada para pembaca sih. Semoga terhibur ☺☺

     Kalo ada yang mau nambahin pengalamannya mungkin bisa komen-komen di bawah yak! Thanks!