Makan, Minum, Duduk, Tidur, Dibayar, dan Halal

Sunan bercengkrama dengan senja

Cerita ini dimulai dari percakapan antara saya dengan kakak tingkat(kating) dua tahun diatas saya. Niat awal saya adalah mengembalikan kemeja miliknya yang sudah satu tahun belum saya kembalikan. Percakapan berakhir dengan sebuah perintah untuk mengirimkan kemeja tersebut ke tempat tinggal kerjanya yang sekarang di daerah barat jawa, tapi bukan Jawa Barat.

Satu bulan berlalu, kemejanya belum juga saya kirimkan. Kendalanya adalah karena saat saya menghubunginya saat itu saya sedang berada di Jakarta untuk Kerja Praktek, sedangkan kemejanya saya simpan di Semarang. Akhirnya saya memulai chat kembali untuk memastikan dan menginfokan untuk mengirimkan kemeja tersebut. Tak lama, kating saya ini menelepon namun tidak sempat saya angkat. Tujuan dari telfon tersebut tergambarkan di chat selanjutnya, penjelasan akibat dari saya tidak mengangkat telfonnya.

“der, minggu depan sibuk nggak? Ada kerjaan nih tapi Cuma sehari,” begitu katanya.

Tahu saja, lagi butuh tambahan untuk ditabung. Lalu ia menjelaskan bagaimana kerjaan yang dimaksudkan. Saya meminta untuk mengajak teman seangkatan saya untuk menemani. Saya butuh teman untuk kerjaan yang ini. Lalu saya mengajak Sunan, teman sekamar saya sejak bulan April, dan teman satu kos sejak semester 4. Sunan setuju, pembagian fee terutama.

H-1, saya dan Sunan diminta untuk ke kantor cabang Semarang tempat kating saya ini bekerja. Jaraknya lumayan dari Undip atas. Setelah sampai disana, kami menunggu sebentar dan kating saya tiba dengan chief-nya. Ia keluar dari mobil dengan membawa alat yang akan kami … besok. Iya itu saya sengaja buat … biar nanti kamu paham kalau baca sampai selesai.

“gimana kabarnya der, sehat? Sunan sehat?” kurang lebih seperti itu. Sebelum akhirnya kami diajak untuk masuk ke kantornya.

Perusahaan internasional, chief-nya pun bukan WNI, jadi kating saya harus berbahasa inggris dalam kesehariannya. Begitupun kami pada saat itu. Kami disuguhi minuman bersoda terkenal yang kalengnya berwarna merah dan isinya berwarna cokelat. Setelah bincang-bincang, kami di briefing mengenai apa yang akan kami kerjakan besok. Selesai.

Hari kerja tiba, kami harus berada di pos 4 Pertamina Tanjung Emas selama kurang lebih 24 jam, untuk menjaga sebuah alat yang harganya setara dengan satu unit mobil fortuner. Tanggung jawab berat. Kenyataannya, …

Membosankan, iya, hanya benar-benar menjaga. Kami tidak mengotak atik alat tersebut, iya alat GPS Geodetik yang mengambil data selama 24 jam. Tugas kami hanya menjaga supaya alat tersebut tidak hilang, tidak mati, ya. Dalam waktu 24 jam itu, kami makan yang juga sudah ditanggung oleh kating saya, nyemil yang sudah ditanggung juga, minum juga, lalu tidur, solat, baca buku, buka instagram, buka line, buka laptop untuk persiapan presentasi besok di kelas, lalu melongok ke GPS, “oh, masih ada.” Yah seperti itu, dan kami dibayar.

Ada kan, orang duduk, tidur, makan, minum, bosen, dan dibayar, Halal insyaa Allah.

Ada.

Sekian.

Untungnya tidak hilang.

Jurnal Geodery #2 : Halo Semarang, Halo Undip

                Setelah diterima lewat jalur UM I di Undip, saya melengkapi segala syarat administrasi. Saya berangkat ke Semarang sekitar satu pekan sebelum kegiatan verifikasi dan tes kesehatan dilakukan. Harapan keluarga saya yaitu bisa langsung menemui petinggi kampus untuk membicarakan hal menyangkut SPI. Tahun saya masuk adalah pertama kali diberlakukan uang Sumbangan Pembangunan Infrastruktur (SPI) oleh Undip untuk jalur UM.

                Saya berangkat berdua dengan Ayah Rahimahullahu Ta’ala. Tujuan pertama kami di Semarang adalah kos Mas Bandi, yang mana adalah tempat kos Mas Depi(abang saya) saat kuliah di Undip beberapa tahun lalu. Sesampai di kos Mas Bandi, ternyata kamar disana penuh. Saya disarankan untuk ke rumah orang tua Mas Bandi yang tidak jauh dari rumahnya. Orang tuanya juga memiliki kamar kos, dan katanya ada yang kosong. Oke, akhirnya saya ditetapkan untuk tinggal di kos orang tua Mas Bandi, yang ternyata setelah saya tahu dimana kampus saya berada, ternyata jaraknya cukup jauh. Kos pertama saya di Ngesrep Timur, untuk yang mengerti daerah Tembalang dan sekitarnya, pasti tahu bagaimana jarak kos saya dengan kampus Undip Tembalang.

                Kembali ke tujuan awal kami berangkat lebih cepat. Keesokannya Saya dan Ayah Rahimahullahu Ta’ala pergi ke kampus, entah kami mau kemana belum tahu. Ke Kampus dulu pokoknya. Naik angkot, kami melewati gedung prof. Soedarto, dan disana sedang ada fakultas lain yang mengadakan verifikasi mahasiswa baru. Akhirnya kami memutuskan untuk kesana dan bertanya kepada mahasiswa yang menggunakan Almamater sebagai tanda bukan mahasiswa baru. Setelah menjelaskan keperluan kami, akhirnya kami diarahkan untuk bertanya lebih lanjut di Stand BEM Undip, tepatnya di bagian sosial/kesejahteraan mahasiswa.

                Ayah Rahimahullahu Ta’ala menjelaskan tujuan kami, dan ditanggapi oleh pengurus BEM dengan sangat baik. Akhirnya ada satu mahasiswi dari Departemen Hubungan Internasional FISIP angkatan 2014 yang akan membantu kami untuk menghadap ke Wakil Rektor 2 (kalau tidak salah) untuk membahas tentang penangguhan atau kalau bisa penghapusan SPI untuk saya. Pada saat itu juga saya sudah membawa berkas pendukung yang mungkin diperlukan sebagai penguat pengajuan. Saya dibonceng mahasiswi (aduh, ga enak ya dibacanya) tersebut untuk ke tempat fotokopi untuk membuat surat permohonan dengan materai untuk diajukan ke Wakil Rektor. Setelah itu, menjemput ayah saya yang menunggu di Gedung prof. Soedarto yang dibonceng oleh mahasiswa dari Sastra Indonesia FIB angkatan 2014 juga, untuk bersama ke Gedung Widya Puraya.

                Akhirnya kami bertemu dengan Wakil Rektor, menjelaskan ini itu, bagaimana keadaan keluarga kami, apakah bisa SPI ditiadakan atau diringankan, dan hasilnya? Tidak ada. Disini saya tidak bermaksud untuk menjelekkan Universitas, tapi saya paham, peraturan ya tetap peraturan. Pendaftar UM dianggap mampu membayar SPI karena sudah diberitahu pada pendaftaran online jalur UM. Akhirnya saya dan ayah Rahimahullahu Ta’ala, pulang ke kos dengan diantar kedua mahasiswa soskesma BEM Undip tersebut. Padahal kosnya cukup jauh. Makasih mas mba. Saya masih ingat sampe sekarang kejadiannya tapi lupa nama mas mba siapa.

                Dari kejadian hari itu saya belajar, mahasiswa benar-benar dituntut kritis dan belajar memperjuangkan sesuatu dengan maksimal, bagaimanapun hasilnya yang penting usaha dulu. Seperti yang Ayah saya bilang, “dicoba dulu”. Padahal saya sejak awal sudah bilang untuk tidak usah mengurus SPI ini karena tidak mungkin bisa turun atau dihilangkan. Adapun mahasiswa Kesma Undip juga mendukung pernyataan ayah saya. “Dicoba dulu, lumayan setidaknya kalau bisa turun,” kalau tidak salah begitu katanya. Memang, kadang saya menyerah sebelum mencoba.

Dari hari itu, saya bertekad ingin menjadi anggota BEM terutama Kesma yang membantu mahasiswa lainnya yang butuh bantuan seperti saya sekarang ini, tapi gimana nanti dilihat saja cerita selanjutnya. Heleh, dasar Maba.

                Selama menunggu masuk kuliah, saya ikut first gathering dengan teman angkatan 2016 Prodi Teknik Geodesi (yang sekarang sudah berubah menjadi Departemen Teknik Geodesi). Pertama kali bertemu di Masjid Kampus Undip/Maskam/Masjid KU sebelum akhirnya pindah ke House of Moo (tempat makan gitu/menu andalannya minuman susu variasi rasa). Saya bingung memakai alas kaki karena hanya punya sandal jepit, sepatu futsal, dan sepatu selop semi pantofel untuk kegiatan mahasiswa baru. Akhirnya, saya memutuskan menggunakan sepatu futsal. Adanya itu. Jangan diketawain ya, tapi gapapa.

Foto Bersama di House of Moo.

                Lalu saya melakukan tes kesehatan, kenal teman sesama daerah dari Jakarta yaitu Nahar Dito, kenalan dengan Ibunya juga dan diminta nomor HP saya.

Katanya kurang lebih begini, “Biar nanti kalo dito bandel atau ada apa-apa bisa hubungi dery.”

Lalu sambil menunggu tes kesehatan, ternyata samping saya juga dari Teknik Geodesi. Sekian lama kami hanya diam, dan akhirnya berkenalan. Ternyata dia adalah salah satu manusia yang suka ramai muncul di grup line Geodesi 2016, dan juga berasal dari Jakarta. Iman Arta, yang nickname line nya saat itu adalah Kodok. Pertemuan dengan Dito dan Iman dilanjutkan dengan bertemu teman geodesi lainnya.

Setelah Tes Kesehatan di RSND.

Ketika verifikasi … , dilanjut di kesempatan berikutnya aja ya. Kalau kepanjangan takut bosen bacanya hehe. Sampai jumpa.