Kejuaraan Provinsi Paling Berkesan

Kehidupan ini bertingkat, selesai dengan ujian satu, lalu datanglah ujian dengan level yang lebih tinggi. Begitupun dalam alur yang dibuat dalam menjaring bakat olahraga di negeri ini, terutama Bulutangkis.
Klub bulutangkis yang terdaftar resmi di PBSI dapat mengikuti pertandingan yang diadakan PBSI secara bertahap. Dimulai dari Kejuaraan tingkat kota(Kajurkot), lalu provinsi(Kejurprov), dan yang tertinggi yaitu tingkat nasional(Kejurnas).
Atlit yang lulus kualifikasi di tingkat kota, akan diperkenankan bermain di tingkat Provinsi dengan membawa nama kota tersebut. Begitupun jika lulus kualifikasi provinsi, akan bermain di tingkat Nasional, lalu juara Kejurnas akan diberikan kesempatan magang di Pelatnas PBSI Cipayung(setahu saya seperti itu, koreksi jika ada salah atau perubahan alur).

Pada suatu hari di tahun 2011, saya terdaftar di salah satu klub bulutangkis yang terdaftar di PBSI cabang Jakarta Selatan. Dua tahun sebelumnya, saya mengikuti Kejurkot di cabang tunggal putra dan ganda putra. Semuanya kandas, paling jauh mencapai R3, atau 32 besar(karena peserta sangat banyak). Tahun ini saya tidak ikut Kejurkot, karena ada suatu permasalahan yang dihadapi klub yang menaungi saya ini, sehingga tidak diperkenankan ikut dalam Kejurkot. Namun …
Entah bagaimana caranya, ketua klub kami mengumumkan bahwa kami diikutsertakan dalam Kejurprov, karena katanya masih ada kuota yang belum terisi dari Jakarta Selatan. Intinya seperti itu, anak-anak dari klub saya ini semua didaftarkan dalam Kejurprov tanpa seleksi di tingkat Kota. Sampai disini dan saya tidak ingin bahas tentang perpolitikan di ranah ini.

Saya didaftarkan di Kejurprov kategori usia Pemula di tunggal putra dan ganda putra, mewakili Jakarta Selatan. Bagi saya, ini adalah salah satu cita-cita, yaitu bisa bermain di Kejurprov. Akhirnya bisa, meski mungkin kotor langkahnya.
Pada hari H, kami berangkat bersama. Saya, bersama 4 rekan berada dalam satu mobil yang dikemudikan oleh ayah saya. Jaraknya cukup jauh, pertandingan disenggarakan di GOR Pelita Bakrie Jakarta Barat. Hari pertama kami tidak tahu jadwal pertandingan, jadi kami kesana sekaligus ikut upacara pembukaan.

Saat upacara pembukaan, kami berbaris sesuai dengan Kota masing-masing. Barisan dibagi menjadi  enam sesuai dengan kota yang ada di DKI Jakarta, yaitu Jakarta Timur, Barat, Pusat, Utara, Selatan, dan Kepulauan Seribu. Jakarta Selatan menggunakan baju hijau khas Jakarta Selatan, baju yang ingin sekali saya gunakan, baju hijau bertuliskan “Cabang Jakarta Selatan” di punggung sebelum nanti mungkin akan berubah tulisan punggung tersebut menjadi “DKI JAKARTA” lalu berubah lagi menjadi “INDONESIA”. Mimpi namanya. Sayangnya, unfortunately, hmmm, khusus kami tidak dapat jatah baju bertuliskan yang kami inginkan tersebut. Jadi kami baris disana dengan pakaian apa adanya, tidak seragam dengan yang lain. H tersebut tetap membuat kami bangga, lantaran kami satu baris dan satu naungan yaitu Jakarta Selatan, satu tim dengan atlit dari klub Tangkas Alfamart (saat itu masih seperti itu namanya). Klub yang melahirkan atlit sekelas Liliyana Natsir, Simon Santoso, Jonathan Christie, dan lainnya. Saya lupa saat itu satu baris dengan Jonathan atau tidak, yang saya tahu ada banyak anak tangkas disana, dan yang paling saya ingat ada MVL, mungkin ada yang kenal? Sempat menjadi juara rutin sirnas ganda campuran sebelum akhirnya pensiun dini. Karena apa saya ingat … Yah … dia itu keturunan Minahasa, tau kan cantik Minahasa seperti apa? Ya intermezo saja. Hihi.

Jadwal pertandingan dipasang di papan, ternyata tidak ada satupun dari kami yang bermain pada hari ini, namun baru besok. Jadi hari ini kami datang jauh hanya untuk upacara saja dan melihat atmosfer Kejurprov. Oke oke, gapapa.
Di hari berikutnya, hanya tersisa saya dan partner ganda saya saja.

Sisanya berkata, “GOR nya jauh, lagian ini levelnya udah tingkat Kejurprov, nanti paling main sekali terus kalah. Lagian juga hari ini masuk sekolah, mending masuk sekolah aja.”

Kira-kira seperti itu. Akhirnya, yang kembali berangkat untuk bertanding hanya saya dan partner ganda saya, namanya Hadi Rizqi. Kami berangkat dipagi buta, diantar oleh ayahnya Rizqi naik mobil karena sekalian berangkat kerja.

Dalam bagan pertandingan tunggal, saya lebih diuntungkan dibanding Rizqi. Rizqi harus bermain dari babak awal yaitu 128 besar, sedangkan saya dapat bye jadi langsung main di 64 besar. Tentu, karena faktor tersebut, Rizqi bermain lebih awal dari saya. Ia bermain dipagi hari, sekitar jam 10 pagi, melawan wakil dari Jakarta Barat. Perbedaan permainan terlihat jelas, Rizqi tertinggal jauh dari lawannya. Sepertinya ia tidak All Out dalam bertanding, entah ada faktor apa yang memengaruhinya. Rizqi kalah di babak awal.
Setelah itu, kami kembali menunggu pertandingan. Saya bermain di sore hari, jika dijadwal sekitar pukul 4 sore, namun sepertinya jadwal akan mundur karena estimasi permainan tiap partai ternyata lebih lama.
Tiba giliran saya bertanding, benar saja, pukul 17.30 “dery rizki purwanto, jakarta selatan” dipanggil untuk masuk lapangan, waktu mundur sesuai dugaan. Hanya Rizqi yang menjadi suporter. Ayah saya Rahimahullahu tadi berjanji akan datang setelah menyelesaikan pekerjaannya, begitu pula ayahnya Rizqi.

Pertandingan dimulai kami memulai pemanasan, saya cukup percaya diri karena lawan saya dari Jakarta Utara. Waktu itu, PB. Exist baru berdiri dan belum ikut kejuaraan kota, jadi pandangan saya, lawan saya bukan lawan yang begitu berat. Pemanasan tidak dapat menyimpulkan siapa yang kira-kira akan jadi pemenang, kami terlihat seimbang.

Bagan pertandingan.

Semangat saya cukup tinggi, ini Kejurprov, harus maksimal. Pertandingan dimulai.
Pertandingan berlangsung tidak sengit, tidak seperti yang dibayangkan. Kaki begitu kaku untuk bergerak, demam panggung atau terlalu semangat, entahlah. Saya kehilangan game pertama dengan skor 21-18. Selesai game pertama, entah sejak kapan ternyata ayahnya Rizqi telah menonton saya bermain di pinggir lapangan. Pada game kedua, saya berharap bisa merubah keadaan. Teriakan sering keluar ketik saya mendapatkan poin, untuk mengurangi demam panggung yang saya alami. Tapi, ternyata itu tidak mengubah banyak, ayahnya Rizqi menonton dari belakang lapangan lawan saya, tapi tunggu, ternyata disana juga ada ayah saya. Bajunya setengah basah, ia menerobos hujan dengan plastik besar yang dimodif menjadi jas hujan. Topi hitam khasnya dipegang, tidak dipakai mungkin karena basah. Terlihat tenang menonton jalannya pertandingan, entah bagaimana hatinya.

Skor saat ini saya tertinggal 7 angka, 15-8 untuk keunggulan lawan, di game kedua yang mana saya sudah kalah di game pertama. Tamat sudah.

Saya berkata dalam hati,”Yah, sekali lagi maaf telah mengecewakan, lagi-lagi harus kalah di babak awal. Padahal sudah besar biaya untuk sampai sini, mengorbankan waktu dan uang.”

Pertandingan terus berjalan, tapi berjalan sebaliknya. Saya bermain lepas, bahasa kerennya mungkin “Nothing to lose”. Sudahlah, yang penting main saja. Tidak terduga, perlahan tapi pasti saya menyusul ketertinggalan. Sampai di poin 20-20, saya melesat mulus dan unggul 22-20.
Kepercayaan diri saya meningkat, saya bermain lebih lepas lagi di game ketiga. Ditambah saya sudah berhasil merebut game kedua. Saya berhasil menang, mengembalikan keadaan dengan poin 21-15.

Puas? Cukup puas, karena masih bisa lanjut dihari besok.
Malam itu saya pulang dengan senang, meskipun masuk ke Kejurprov dengan cara yang bisa dibilang ilegal, tapi saya tetap bisa memaksimalkan kesempatan dengan tidak kalah di pertandingan pertama. Saya pulang naik mobil Rizqi, sedangkan ayah saya naik motor, itu keputusan ayah saya supaya saya bisa beristirahat di mobil selama perjalanan pulang, dan nanti akan dijemput dirumah Rizqi.

Dalam perjalanan pulang, saya diajak makan di salah satu rest area, kami semua memesan pesanan yang sama. Lalu, sambil menunggu pesanan datang, Ayah Rizqi memanggil pelayan restoran.

“Mas, sini sebentar,”
Pelayan tiba, dan menanyakan keperluannya dipanggil untuk apa.

“Mas, tolong beliin rokok xxxx ya mas,”
Pelayan mengiyakan permintaan.

Tidak lama setelah itu, ia kembali lagi dan memberitahu bahwa rokok yang dipesan habis. Maka Ayah Rizqi memberikan opsi merk lain, pelayan kembali pergi.

Setelah itu, ayah Rizqi memberi pesan kepada kami,”Gini hidup, der. Kamu mau jadi orang yang nyuruh atau orang yang disuruh.”

Begitu yang saya ingat, sampai sekarang.
Sampai rumah, saya langsung tersungkur di kasur. Lelah gan.

Paginya, kepala saya terasa berat, sangat pusing. Badan juga terasa sakit semua. Sedangkan hari ini saya harus main sekitar pukul 10 pagi. Akhirnya, saya dikerokin oleh Ibu saya, dan memang sih terasa enakan. Saya tetap berangkat dibonceng ayah saya menerobos macatnya Jakarta dipagi hari. Nasib ganda saya dengan Rizqi diikhlaskan saja. Harusnya juga bermain hari ini, tetapi Rizqi memutuskan untuk sekolah dan mengikhlaskannya.

Saya sampai di lapangan satu jam sebelum bertanding, masih ada waktu untuk menenangkan diri. Kepala masih lumayan pusing, tubuh masih dikuatkan oleh semangat. Hingga tiba waktunya saya bertanding. Tubuh tidak bisa dibohongi, saya dilibas habis oleh pemain asal kandang, Jakarta Barat.

Dibangku penonton, saya melepas baju yang basah keringat. Memamerkan tatoo merah garis garis dipunggung. Seraya melamun menatap delapan lapangan di hadapan saya yang penuh diisi oleh calon pengharum nama bangsa yang sudah menjadi tradisi dari dahulu kala.

Saya berkata dalam hati,”Bisakah tahun depan tampil di Kejurprov lagi?”.

Dan sampai cerita ini ditulis, saya tidak pernah ikut lagi Kejuaraan Provinsi. Jadilah, ini menjadi Kejuaraan Provinsi paling berkesan.

Pendakian Gunung Sindoro via Banaran (Ndoro Arum): “S” Pelengkap

                Sebelumnya sudah sempat terpikirkan untuk ikut di ekspedisi pemetaan jalur yang diadakan oleh Mapala Sherpa Geodesi Undip, namun banyak hal yang mengganjal dihati sehingga banyak keraguan untuk ikut. Pada kloter pertama jelas saya tidak bisa ikut karena ada kegiatan yang memang benar-benar tidak bisa ditinggalkan. Akhirnya, dua pekan setelah kloter pertama, ekspedisi dilakukan kloter kedua dan saya ikut disana.

                Berawal dari duduk didepan ruang kepala departemen yang juga sekaligus pembimbing KP saya dan Resi (rekan pendakian di Sumbing dan Papandayan) tiba-tiba membawa obrolan ke pendakian ekspedisi kloter kedua yang akan dilaksanakan besok lusa.

                “Sindoro jadi gak der?”

                “Boleh tuh,” singkat namun terlaksana.

                Setelah percakapan itu, kami mencari personil lainnya yang non-mapala. Akhirnya, kami mendapatkan tiga rekan lagi yaitu luqman(rekan pendakian ke lawu tahun lalu), hafiz, dan farhan yang baru pertama kali akan mendaki gunung. Tim kami berisi lima orang, dan akan ikut di tim ekspedisi SIndoro Mapala Sherpa via Banaran (Ndoro Arum), yang mana mereka terdiri dari lima orang juga. Meskipun kami dalam satu jalur pendakian, namun terdapat perbedaan pendapat antar Tim saya dan Tim Mapala dalam penentuan keberangkatan. Tim Mapala sepakat berangkat hari Jumat sore dari Semarang, sedangkan tim saya yang anggotanya masih memiliki agenda malam hari di Semarang memutuskan untuk berangkat pukul 9 malam dari Semarang menuju basecamp Banaran.

                Kami mendapat kabar bahwa tim Mapala sudah sampai di Basecamp sekitar pukul 8 atau 9 malam, sedangkan kami nyatanya baru berangkat dari Semarang pukul 11.30 malam, begitulah realita yang tidak sesuai ekspektasi. Kami berangkat ke Basecamp, sedangkan tim Mapala mulai mendaki ditemani gelapnya malam.

                Kami tiba di basecamp sekitar pukul 2 dinihari, sedangkan tim Mapala sudah sampai di pos 2 dan mendirikan tenda. Kami tahu posisi mereka karena masih saling berkabar di grup line, iya, grup line. Entah unik atau apa, namun di setiap pos via Banaran ini selalu ada sinyal bahkan bisa 4G. jadi selama pendakian ini kami sering berkabar dan bertanya posisi menggunakan jaringan internet.

                Kami telah siap mulai dari packing hingga simaksi, dan kami berangkat menyusul tim mapala pukul 8.30 pagi. Simaksi dilakukan di basecamp yang memiliki jam operasi dari jam 7 pagi hingga jam 9 malam. Simaksi sebesar Rp. 15.000 per orang, dan parkir Rp. 5000 per motor, dan fasilitas grup sebesar Rp. 10.000 yaitu sebuah trashbag, peta pendakian, HT(tim mapala dapat, namun kami tidak), dan asbak yang terbuat dari botol kaca. Ditambah, barang bawaan kami digeledah dan di data, untuk pendataan sampah saat turun, sama seperti di merbabu sebelumnya. Pada hari itu hanya kami saja yang mendaki, dua tim. Memang jalur Banaran ini tidak seramai jalur Sigedang atau Kledung.

                Setelah berangkat dari basecamp, jalan yang kami lalui berupa bebatuan yang masih dilalui motor bahkan truk untuk membawa hasil kebun warga. Pemandangan kiri dan kanan adalah perkebunan warga, ditambah keramahan warga yang selalu menyapa dan bertanya kepada kami dengan kromo inggil. Setelah melalui perkebunan warga, kami mulai memasuki hutan dan tidak lama setelah itu bertemu dengan pos 1. Perjalanan selama 1,5 jam untuk dari basecamp ke pos 1. Kami beristirahat cukup lama, kurang lebih 20 menit. Farhan selama dijalan mengeluhkan tasnya yang menyakitkan bahu. Solusinya, Resi dan Luqman membantu untuk bergantian bertukar tas, berbagi sakit bahu. Lalu kami kembali berjalan menuju pos 2, kami menemukan jalur yang tertutup oleh pohon tumbang, dan kami mencoba mencari jalan lain. Setelah melewati pohon tumbang tersebut, tanjakan tak berujung menanti kami. Tidak ada lagi bonus. Kami memasuki wilayah jalur naga. Dimana di jalur tersebut hanya cukup dilewati untuk satu orang, kiri dan kanan jurang. View bagus, namun, mengapa tidak ada habisnya ya tanjakan di jalur naga?

Pos 1 Ngrata.
View Pemandangan di Jalur Naga.
Pos 2 Kayu Sawa

Kami sampai di pos 2 sekitar pukul 12.48, dan ternyata disini bersih, tidak ada tenda dari tim mapala yang awalnya saya kira mereka meninggalkan tenda dan barang bawaan di pos ini untuk summit. Lalu kami berhenti selama 10 menit, sebelum melanjutkan ke pos 3 bayangan, tempat kami berencana ingin mendirikan tenda. Mengapa di pos 3 bayangan? Saya hanya mengambil keputusan berdasarkan saran dari penjaga simaksi di basecamp. Mas-mas tersebut bilang bahwa paling enak camp di pos 3 bayangan, masih ada pohon untuk menghalau angin. Sedangkan pos 3 dan pos 4 sudah merupakan lahan terbuka yang anginnya kencang. Berjalan menuju pos 3, beberapa anggota tim ada yang meminta istirahat untuk cukup lama, kami menyeduh nutrisari anggur, memakan raspberry, dan setelah dirasa enak untuk melanjutkan perjalanan, kami berangkat. Lima menit dari keberangkatan kami di tempat istirahat tadi ternyata pos 3 bayangan. Dekat sekali. Dasar. Kami sampai di pos 3 kurang lebih pukul 2 siang.

                Sesampai di pos 3 bayangan, kami menggelar matras untuk makan nasi bungkus dan gorengan yang kami bawa dari basecamp. Setelah itu, baru mendirikan tenda. Tidak lama setelah tenda didirikan, terdengar suara panggilan dari tim Mapala. Mereka sudah perjalanan turun. Kami pun membalasnya, saling sahutan. Namun, kami heran mengapa sudah lama tapi mereka tidak sampai juga di tenda kami. Akhirnya ada suara yang terdengar,

                “Luqman, kesini tolongin gendong Bia,” suara Kris(teman pendakian ke Semeru dan Lawu)

                Saya yang lebih siap karena sedang berada di luar tenda langsung naik meggunakan sandal jepit sky way hitam andalan. Jaraknya dekat dari tenda kami, tidak lama Luqman menyusul membawa obat gosok. Ternyata Bia terkilir karena jatuh terpeleset. Adapun lainnya, Danang, Dewa dan Junned (Tim Mapala Sherpa yang juga kemarin ke Gunung Merbabu) mereka semua membawa beban yang lumayan sehingga menunggu saja sambil berpikir menyelesaikan masalah. Akhirnya, secara perlahan Bia bisa dibawa turun ke tenda kami. Tim Mapala mendirikan tenda kapasitas 2-3 orang untuk berjaga siap bermalam lagi. Danang dan Junned memutuskan untuk turun ke basecamp, karena HT habis daya, dan nomor telpon yang tersedia di lembar karcis tidak merespon. Danang dan Junned mengabarkan sekitar pukul 7 malam bahwa aka nada tim evakuasi yang naik saat ini juga. Tim evakuasi tiba di pos 3 bayangan sekitar pukul 9 malam, dan mereka membawa Bia turun sekitar jam 10 malam. Kami asyik tidur. Bia dan kawan-kawan tiba di basecamp sekitar pukul 1 dini hari. Sedangkan kami mulai berangkat untuk Summit pukul 1.30 dini hari.

                Saya membangunkan teman-teman dari hangatnya tidur, sekitar pukul 00.30. Setelah bangun, kami memasak beberapa bungkus minum makanan bergizi atau akrab disebut energen, untuk mengisi perut sebelum melakukan summit. Tepat pukul 1.30 dini hari, kami berangkat dengan tujuan sampai puncak subuh dan solat subuh dipuncak.

Pemandangan Menuju Puncak

                15 menit dari keberangkatan, kami tiba di pos 3. Cukup dekat dari posisi tenda kami di pos 3 bayangan. Menempuh sekitar satu jam dari pos 3, kami sampai di pos 4. Kondisi dipos 4 sudah berupa lahan terbuka tanpa pohon yang dapat menahan angina. Untuk mendirikan tenda dan bermalam dipos 4 saya tidak merekomendasikan. Selanjutnya, tinggal puncak. Beberapa rekan sangat bahagia, terutama Farhan dan Hafiz yang baru pertama mendaki. Mereka bilang bahwa untuk summit ternyata lebih enak karena tidak membawa bawaan banyak di carrier. Setelah sekitar satu setengah jam perjalanan, kami sampai di puncak. Resi, yang memimpin perjalanan kami dari tenda tadi memberi isyarat,

                “Puncaknya ada makam kan?”

                “Iya,” jawab kami, mengetahui bahwa Resi telah melihat makam yang dimaksud. Semoga bukan prank.

                Kami tiba di puncak pukul 04.00. Sepertinya kami menjadi orang pertama yang sampai puncak dari jalur ndoro arum maupun sigedang. Kami menunggu matahari muncul sembari memakan roti yang kami bawa, disertai dengan susu kental manis sebagai pemanis. Tercapai, solat subuh di puncak dengan terpaan angin puncak yang semriwing. Solat tetap didirikan sebagai tanda bahwa keimanan bukan permainan dan butuh diperjuangkan.

Puncak Sindoro 3153 Mdpl.

                Ya, saya kira saya akan tidak sampai puncak lagi seperti di merbabu beberapa waktu lalu. Alhamdulillah, 3S terlengkapi hari ini. Meskipun puncak sumbing yang saya capai belum merupakan puncak tertingginya. Beberapa raut wajah gembira terlihat. Puncak pertama yang sukses bagi Farhan dan Hafiz, lelah Luqman yang terbayarkan, Resi yang akhirnya kembali menjajaki puncak karena di papandayan kemarin kami bingung mana puncaknya. Ya, beginilah.

Gunung Sumbing dari Puncak Sindoro.

                Kami mendokumentasikan puncak, matahari terbit, berkeliling dipuncak sindoro, sarapan telur rebus yang kami buat semalam. Setelah puas, kami turun ke tenda, padahal jam belum menunjukkan pukul enam pagi. Kami sampai di tenda sekitar pukul 8.00.

Pemandangan Turun Menuju Tenda.

                Setelah memasak sarapan seadanya, ya Alhamdulillah (Sarapan kami berupa lima potong nugget per orang, dan satu buah kentang goreng untuk berlima) terasa cukup untuk menahan lapar sampai ke basecamp. Kami memiliki target untuk sampai di basecamp sekitar waktu zuhur, yaa sekitar pukul 12 siang lah. Akhirnya kami turun sekitar pukul 9.30, dan benar, hanya butuh hampir dua jam kami sudah sampai di pos 1. Perjalanan yang lumayan singkat. Sejak memasuki kawasan perkebunan warga, saya meminta izin kepada rekan untuk jalan di paling depan, setelah sebelumnya posisi saya sebagai sweeper. Saya sangat menginginkan es teh, saya meluncur jauh didepan, sangat jauh dari teman-teman saya. Jalanan berbatu, kiri kanan merupakan perkebunan warga, suara motor dan mobil sudah mulai terdengar karena memang jalan ini dilewati motor dan mobil untuk mengangkut hasil kebun warga.

                “Es teh, es teh, es teh,” begitulah motivasi saya dalam hati untuk terus berjalan setengah berlari menuju basecamp.

                Sesaat hampir sampai di permukiman warga sekitar basecamp, Luqman, Hafiz, Resi, dan Farhan melewati saya. Iya, mereka semua melaju kencang melewati saya dibonceng motor oleh warga yang selesai mengangkut hasil kebun. Wajah mereka tersenyum. Aih… tidak apa, pokoknya es teh.

                Berikut adalah rekap perjalanan kami selama di Gunung Sindoro 25-27 Oktober, Via Banaran Ndoro Arum :

23.30 – 2.30        Perjalanan dari Semarang ke Basecamp

08.30 – 10.00      Perjalanan dari Basecamp ke Pos 1

10.20 – 12.50      Perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 (Melewati Jalur Naga)

13.00 – 14.00      Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 Bayangan

14.00 – 00.30      Mendirikan tenda, makan, santuy, tidur

01.30 – 01.45      Perjalanan Summit dari Pos 3 Bayangan ke Pos 3

01.50 – 02.50      Perjalanan dari Pos 3 ke Pos 4

02.50 – 04.00      Perjalanan dari Pos 4 ke Puncak

04.00 – 05.50      Menikmati puncak dan dokumentasi, makan telur rebus juga

05.50 – 08.00      Turun dari puncak ke Pos 3 Bayangan

08.00 – 09.30      Sarapan dan packing

09.30 – 12.30      Perjalanan turun ke Basecamp

Untuk biaya sekitaran basecamp yang kami keluarkan sebagai berikut :

Simaksi                 Rp. 15.000/orang

Parkir                    Rp. 5000/motor

Fasilitas BC          Rp. 10.000/tim

Fasilitas yang didapatkan berupa satu peta jalur, satu asbak berbentuk botol beling, dan HT(Bila beruntung)

                Sekian pengalaman saya mendaki Gunung Sindoro bulan lalu, baru bisa tertulis karena baru mau menyempatkan untuk menulis ini. Semoga bisa menjadi referensi pendakian Gunung Sindoro via Banaran Ndoro Arum, terlebih karena masih sedikitnya yang menjamahi jalur ini dan memberikan reviewnya di internet. Salam Lestari!