Jurnal Geodery #1 : Sebelum saya kuliah

Saya belakangan ini sempat berpikir untuk menuliskan apa saja yang saya lakukan selama saya kuliah, yah sudah memasuki fase kritis sebagai mahasiswa. Blog saya sedikit lebih ramai dikunjungi karena promosi dari Zenius.net, media belajar online yang saya gunakan dulu saat gap year, dimana Zenius mencantumkan alamat blog saya di salah satu artikelnya. Termasuk alasan saya memindahkan artikel Mas Penjaga Warung Juga Ingin Kuliah ke blog baru saya ini. Jadi, singkatnya saya ingin meneruskan tulisan Mas Penjaga Warung Juga Ingin Kuliah ke bagian selanjutnya yaitu masa saya kuliah. Setidaknya sebagai rekam jejak yang suatu saat nanti bisa saya tengok di blog ini. Takutnya keburu lupa, dan semoga yang saya tuliskan disini tidak memiliki unsur dusta. Saya akan mengingat yang terbaik yang saya bisa.

Terus selama ini yang kamu post di blogmu ini bukan perjalanan selama kuliah? Hmmm, maksud saya akan saya tuliskan lebih detail lagi. Jika biasanya hanya per kejadian tertentu saja kan. Oke, kita mulai sekarang…

Setelah diterima di Undip, sebenarnya tidak langsung saja saya ujug-ujug kuliah. Saya belum berkomunikasi kepada keluarga bahwa untuk jalur mandiri di Undip memiliki uang pangkal yang disebut SPI (Sumbangan Pembangunan Institusi). Untuk jurusan saya dikenakan biaya SPI yang saya rasa itu yang termurah(setahu saya) di Fakultas Teknik. Jelas, anggota keluarga saya kaget karena bagi kami saat itu nominalnya cukup besar. Saya salah karena tidak ada komunikasi sebelumnya mengenai biaya, akibatnya tidak bisa antisipasi dengan baik. Akhirnya, dari ketiga kakak saya dan orangtua saya mengumpulkan uang yang saya sendiri tidak tahu darimana uang tersebut dan digunakan untuk pembayaran saya kuliah. Total pembayaran saat itu cukup besar, dimana tidak hanya biaya untuk SPI tapi juga untuk UKT semester golongan tertinggi. Golongan tertinggi karena saya lewat jalur mandiri, dan saat itu saya tidak tahu apakah golongan UKT mahasiswa lewat jalur UM bisa turun atau tidak. Mahal? Seharusnya kita selalu bersyukur dan berpikiran bahwa Negara ini telah memberikan banyak hal untuk kita bisa bersekolah sampai sejauh ini. Ah ini ucapan saya aja karena bukan uang saya yang digunakan untuk membayar.

Abang saya, yaitu anak pertama di keluarga kami, memberikan salah satu ucapan yang menurut saya lumayan menampar dan bisa diambil pelajaran darinya. Begini kisahnya, saat beberapa hari menjelang keberangkatan saya ke Semarang, Abang menyuruh saya untuk memperbaiki gelang pengikat jam tangannya di salah satu toko. Saat itu saya hanya “iya,iya” saja, karena itu hal mudah dan masih bisa nanti. Tidak terasa, tiba pada hari keberangkatan ke Semarang. Saya belum juga memperbaiki gelang pengikatnya, lalu saya meminta maaf karena belum sempat atau mungkin tepatnya belum menyempatkan untuk memperbaiki jam tangannya. Abang saya kecewa, entah sedikit kecewa atau banyak. Bukan karena jam tangannya, tapi karena responku terhadap sesuatu. Abang bilang,

“Sebenarnya gua sengaja nyuruh lu buat ngurusin itu bukan karena gua pengen jam nya. Kalo itu mah gampang gua lakuin sendiri. Tapi, gua pengen liat respon lu dalam menanggapi sebuah perintah. Ternyata lu menyepelekan, itu yang membuat gua khawatir lu jauh dari rumah.”

“Gua seneng ngeliat lu bagus dalam perencanaan, gua lihat kalender di kamar lu penuh coretan dengan rencana-rencana. Tapi, lu meremehkan suatu pekerjaan.”

Jadwal sebelum SBMPTN
Jadwal sebelum SBMPTN

Entah Abang saya masih ingat atau engga dengan perkataannya yang ini sebelum saya berangkat pertama kali ke Semarang dengan status sebagai Mahasiswa. Saya rasa harusnya saya bisa ambil pelajaran dari sini, dimana sebenarnya memang kita punya prioritas dalam suatu pekerjaan, namun tidak boleh menyepelekan pekerjaan yang bukan di prioritaskan. Dari sini saya belajar untuk melihat kebutuhan orang lain terhadap saya, meskipun terkadang saya masih suka merasa kurang enak hati dalam beberapa hal. Semoga bisa secepatnya mengamalkan,

“Sebaik-baik kalian adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” Tentunya dalam konteks yang baik.

Mungkin kalau ada mood dan kesempatan nanti insyaa Allah diteruskan di cerita selanjutnya 🙂

Gak Usah Bawa Turun Sampahmu di Gunung Papandayan

Kawah Papandayan dari Hutan Mati.

Setelah menulis berbagai macam detail pendakian yang saya dan teman-teman saya lakukan bulan lalu, sekarang saya akan menunjukan apa saja yang saya dapatkan dengan jumlah uang simaksi yang menurut saya cukup besar. Pendakian kemarin di Gunung Papandayan untuk simaksi dikenakan Rp. 35.000 untuk pengunjung biasa yang tidak camp, sedangkan untuk yang ingin camp dikenakan biaya Rp. 65.000. Saya juga sudah bilang di post sebelumnya bahwa menurut saya ,yang terbiasa melakukan pendakian di Jawa Tengah, ini cukup mahal. Ya misalnya di salah satu gunung di Jawa Tengah itu ada yang diawal pendakian dikenakan biaya Rp. 10.000, lalu ditengah perjalanan ada lagi penarikan uang Rp.5000, lalu ada lagi tiba-tiba penarikan untuk mendirikan tenda di wilayah A(misalnya) Rp.10.000. Total Rp. 25.000 itu sudah termasuk mahal menurut, hmmmm ya menurut saya saja karena masih mahasiswa.

Jadi sebelum mendaki Papandayan kemarin sempat penasaran, kenapa sebesar itu biayanya ya. Jadi disini langsung saja ya saya jelaskan per poin apa saja yang kami dapatkan kemarin, ini dia :

  1. Pemandangan yang Indah

Pemandangan yang indah? Saya rasa semua gunung indah. Tapi, pemandangan ini diberikan langsung sejak awal pendakian. Kamu gak akan bosen sama pemandangan yang diperlihatkan disini. Batuan kapur, kawah, hijau-hijau hutan, semua ada. Jadi, kalo saya sempat berkata ke teman pendakian saya waktu itu kurang lebih seperti ini,

“Selama ini sebenarnya gua mempertanyakan tujuan gua naik gunung. Untuk nyari tenang dan indahnya alam, atau untuk ambisi menaklukan ketinggian? Sebenernya kalo nyari Indahnya aja, kita gak perlu mendaki ke gunung yang tinggi-tinggi.”

Omongan yang berdasar bahwa Gunung Papandayan yang tidak terlalu tinggi, dan saya juga pernah ke Gunung Andong dalam keadaan lumayan sepi (kita tahu bersama seperti apa ramainya Gunung Andong) yang meskipun saat itu banyak tembok kabut, tapi saat kabut terbuka? Nah! Gak perlu naik gunung tinggi untuk dapet view yang mantul(mantap betul).

2. Bersih

Salah satu kelebihan yang jarang dimiliki Gunung di Jawa Tengah, yaitu Bersih. Daritadi membandingkan dengan Gunung Jawa Tengah mulu ya, oke, Gunung Gede juga pas saya kesana 2014 gak bersih kok, tapi ya gak terlalu kotor juga. Sebenernya karena kebanyakan Gunung Jawa Tengah yang saya daki aja jadinya … membandingkan gitu. Ya paham lah. Mungkin salah satu faktor yang membuat Gunung Papandayan bersih karena banyak tersedia tempat sampah permanen (dibuat dengan batu dan semen), jadi pendaki bisa dengan mudah langsung membuang sampah disana. Numpuk? Nggak ko, sampah disana gak numpuk. Pasti ada yang membersihkan dengan rutin dan sampah tidak sampai menumpuk.

3. Toilet

Kalo kamu masih membayangkan bahwa naik gunung lalu kebelet BAB atau BAK harus ke semak-semak, itu menurut saya gak berlaku di Papandayan, jika … jika kamu bisa menahan sebentar sampai ke toilet. Disana setiap pos memiliki toilet sebanyak 4-8 pintu, seinget saya ya. Nilai tambahnya lagi, toiletnya gratis. Disana memang ada kotak ajaib untuk yang mau amal, tapi itu sukarela saja karena disana menurut saya sih sudah dikelola oleh PT. AIL yang mengelola kawasan Gunung Papandayan.

4. Banyak Warung

Untuk warung ini mungkin ada nilai plus dan minusnya. Ada beberapa yang terbantu dengan keberadaan warung di pos, terutama untuk pendaki yang tidak mau berat membawa logistik terlalu banyak. Namun, ada yang juga merasa bahwa warung mengurangi keindahan alam Gunung terkait. Kalau saya lebih condong merasa terbantu karena adanya warung, lagipula itu juga menjadi sumber pencaharian dari warga disana, ditambah untuk harga yaa tidak mahal banget lah masih bisa dikatakan normal. Disamping itu, untuk di Pondok Saladah warung juga menawarkan kayu bakar untuk membuat api unggun dan bahkan bisa meminta tolong penjual kayu bakar untuk menyalakannya juga

5. Fasilitas lain

Saya juga bingung apa saja fasilitasnya, yang saya ingat di Pondok Saladah itu terdapat mushola yang sangat memudahkan pendaki mendirikan shalat, jadi harusnya gak ada alasan malas buat gak solat nih para penghuni Pondok Saladah. Disana juga ada kran untuk air wudhu yang juga bisa diambil untuk masak atau mencuci peralatan masak. Satu lagi, seperti di judul bahwa di Pondok Saladah, saat kamu ingin pulang kamu tidak perlu membawa turun sampahmu. Pendaki diwajibkan melapor ke pos yang ada di Pondok Saladah ketika baru sampai disana dan saat ingin turun, kebetulan saat ingin lapor turun kemarin kami membawa dua kantong trashbag dan langsung diberitahu oleh penjaga pos,

”Sampahnya dibuang disana(menunjuk arah pembuangan sampah) saja mas.” Ya kurang lebih begitulah. Baru pertama kali sampah ditinggal, gak dibawa turun, hehe.

Ditambah lagi kelebihannya untuk tiap pos seingat saya selalu ada saver yang siap siaga apabila terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Termasuk saat kami di Pondok Saladah ada pendaki yang sakit dan tidak kuat berada disana karena terlalu dingin, saat itu juga pukul 1.00 dini hari (info yang kami dapat dari rekan pendaki tersebut), langsung di evakuasi turun ke basecamp.

Kurang lebih itu sih hal yang bisa saya sampaikan dari hasil Rp. 65.000 yang kami bayar untuk simaksi pendakian. Jadi, menurutmu itu worth it gak untuk harga yang sebesar itu? Atau mungkin jika ada yang ingin menambahkan atau diskusi bisa kita mulai di kolom komentar. Salam liburan (kalo libur)!