Kejuaraan Provinsi Paling Berkesan

Kehidupan ini bertingkat, selesai dengan ujian satu, lalu datanglah ujian dengan level yang lebih tinggi. Begitupun dalam alur yang dibuat dalam menjaring bakat olahraga di negeri ini, terutama Bulutangkis.
Klub bulutangkis yang terdaftar resmi di PBSI dapat mengikuti pertandingan yang diadakan PBSI secara bertahap. Dimulai dari Kejuaraan tingkat kota(Kajurkot), lalu provinsi(Kejurprov), dan yang tertinggi yaitu tingkat nasional(Kejurnas).
Atlit yang lulus kualifikasi di tingkat kota, akan diperkenankan bermain di tingkat Provinsi dengan membawa nama kota tersebut. Begitupun jika lulus kualifikasi provinsi, akan bermain di tingkat Nasional, lalu juara Kejurnas akan diberikan kesempatan magang di Pelatnas PBSI Cipayung(setahu saya seperti itu, koreksi jika ada salah atau perubahan alur).

Pada suatu hari di tahun 2011, saya terdaftar di salah satu klub bulutangkis yang terdaftar di PBSI cabang Jakarta Selatan. Dua tahun sebelumnya, saya mengikuti Kejurkot di cabang tunggal putra dan ganda putra. Semuanya kandas, paling jauh mencapai R3, atau 32 besar(karena peserta sangat banyak). Tahun ini saya tidak ikut Kejurkot, karena ada suatu permasalahan yang dihadapi klub yang menaungi saya ini, sehingga tidak diperkenankan ikut dalam Kejurkot. Namun …
Entah bagaimana caranya, ketua klub kami mengumumkan bahwa kami diikutsertakan dalam Kejurprov, karena katanya masih ada kuota yang belum terisi dari Jakarta Selatan. Intinya seperti itu, anak-anak dari klub saya ini semua didaftarkan dalam Kejurprov tanpa seleksi di tingkat Kota. Sampai disini dan saya tidak ingin bahas tentang perpolitikan di ranah ini.

Saya didaftarkan di Kejurprov kategori usia Pemula di tunggal putra dan ganda putra, mewakili Jakarta Selatan. Bagi saya, ini adalah salah satu cita-cita, yaitu bisa bermain di Kejurprov. Akhirnya bisa, meski mungkin kotor langkahnya.
Pada hari H, kami berangkat bersama. Saya, bersama 4 rekan berada dalam satu mobil yang dikemudikan oleh ayah saya. Jaraknya cukup jauh, pertandingan disenggarakan di GOR Pelita Bakrie Jakarta Barat. Hari pertama kami tidak tahu jadwal pertandingan, jadi kami kesana sekaligus ikut upacara pembukaan.

Saat upacara pembukaan, kami berbaris sesuai dengan Kota masing-masing. Barisan dibagi menjadi  enam sesuai dengan kota yang ada di DKI Jakarta, yaitu Jakarta Timur, Barat, Pusat, Utara, Selatan, dan Kepulauan Seribu. Jakarta Selatan menggunakan baju hijau khas Jakarta Selatan, baju yang ingin sekali saya gunakan, baju hijau bertuliskan “Cabang Jakarta Selatan” di punggung sebelum nanti mungkin akan berubah tulisan punggung tersebut menjadi “DKI JAKARTA” lalu berubah lagi menjadi “INDONESIA”. Mimpi namanya. Sayangnya, unfortunately, hmmm, khusus kami tidak dapat jatah baju bertuliskan yang kami inginkan tersebut. Jadi kami baris disana dengan pakaian apa adanya, tidak seragam dengan yang lain. H tersebut tetap membuat kami bangga, lantaran kami satu baris dan satu naungan yaitu Jakarta Selatan, satu tim dengan atlit dari klub Tangkas Alfamart (saat itu masih seperti itu namanya). Klub yang melahirkan atlit sekelas Liliyana Natsir, Simon Santoso, Jonathan Christie, dan lainnya. Saya lupa saat itu satu baris dengan Jonathan atau tidak, yang saya tahu ada banyak anak tangkas disana, dan yang paling saya ingat ada MVL, mungkin ada yang kenal? Sempat menjadi juara rutin sirnas ganda campuran sebelum akhirnya pensiun dini. Karena apa saya ingat … Yah … dia itu keturunan Minahasa, tau kan cantik Minahasa seperti apa? Ya intermezo saja. Hihi.

Jadwal pertandingan dipasang di papan, ternyata tidak ada satupun dari kami yang bermain pada hari ini, namun baru besok. Jadi hari ini kami datang jauh hanya untuk upacara saja dan melihat atmosfer Kejurprov. Oke oke, gapapa.
Di hari berikutnya, hanya tersisa saya dan partner ganda saya saja.

Sisanya berkata, “GOR nya jauh, lagian ini levelnya udah tingkat Kejurprov, nanti paling main sekali terus kalah. Lagian juga hari ini masuk sekolah, mending masuk sekolah aja.”

Kira-kira seperti itu. Akhirnya, yang kembali berangkat untuk bertanding hanya saya dan partner ganda saya, namanya Hadi Rizqi. Kami berangkat dipagi buta, diantar oleh ayahnya Rizqi naik mobil karena sekalian berangkat kerja.

Dalam bagan pertandingan tunggal, saya lebih diuntungkan dibanding Rizqi. Rizqi harus bermain dari babak awal yaitu 128 besar, sedangkan saya dapat bye jadi langsung main di 64 besar. Tentu, karena faktor tersebut, Rizqi bermain lebih awal dari saya. Ia bermain dipagi hari, sekitar jam 10 pagi, melawan wakil dari Jakarta Barat. Perbedaan permainan terlihat jelas, Rizqi tertinggal jauh dari lawannya. Sepertinya ia tidak All Out dalam bertanding, entah ada faktor apa yang memengaruhinya. Rizqi kalah di babak awal.
Setelah itu, kami kembali menunggu pertandingan. Saya bermain di sore hari, jika dijadwal sekitar pukul 4 sore, namun sepertinya jadwal akan mundur karena estimasi permainan tiap partai ternyata lebih lama.
Tiba giliran saya bertanding, benar saja, pukul 17.30 “dery rizki purwanto, jakarta selatan” dipanggil untuk masuk lapangan, waktu mundur sesuai dugaan. Hanya Rizqi yang menjadi suporter. Ayah saya Rahimahullahu tadi berjanji akan datang setelah menyelesaikan pekerjaannya, begitu pula ayahnya Rizqi.

Pertandingan dimulai kami memulai pemanasan, saya cukup percaya diri karena lawan saya dari Jakarta Utara. Waktu itu, PB. Exist baru berdiri dan belum ikut kejuaraan kota, jadi pandangan saya, lawan saya bukan lawan yang begitu berat. Pemanasan tidak dapat menyimpulkan siapa yang kira-kira akan jadi pemenang, kami terlihat seimbang.

Bagan pertandingan.

Semangat saya cukup tinggi, ini Kejurprov, harus maksimal. Pertandingan dimulai.
Pertandingan berlangsung tidak sengit, tidak seperti yang dibayangkan. Kaki begitu kaku untuk bergerak, demam panggung atau terlalu semangat, entahlah. Saya kehilangan game pertama dengan skor 21-18. Selesai game pertama, entah sejak kapan ternyata ayahnya Rizqi telah menonton saya bermain di pinggir lapangan. Pada game kedua, saya berharap bisa merubah keadaan. Teriakan sering keluar ketik saya mendapatkan poin, untuk mengurangi demam panggung yang saya alami. Tapi, ternyata itu tidak mengubah banyak, ayahnya Rizqi menonton dari belakang lapangan lawan saya, tapi tunggu, ternyata disana juga ada ayah saya. Bajunya setengah basah, ia menerobos hujan dengan plastik besar yang dimodif menjadi jas hujan. Topi hitam khasnya dipegang, tidak dipakai mungkin karena basah. Terlihat tenang menonton jalannya pertandingan, entah bagaimana hatinya.

Skor saat ini saya tertinggal 7 angka, 15-8 untuk keunggulan lawan, di game kedua yang mana saya sudah kalah di game pertama. Tamat sudah.

Saya berkata dalam hati,”Yah, sekali lagi maaf telah mengecewakan, lagi-lagi harus kalah di babak awal. Padahal sudah besar biaya untuk sampai sini, mengorbankan waktu dan uang.”

Pertandingan terus berjalan, tapi berjalan sebaliknya. Saya bermain lepas, bahasa kerennya mungkin “Nothing to lose”. Sudahlah, yang penting main saja. Tidak terduga, perlahan tapi pasti saya menyusul ketertinggalan. Sampai di poin 20-20, saya melesat mulus dan unggul 22-20.
Kepercayaan diri saya meningkat, saya bermain lebih lepas lagi di game ketiga. Ditambah saya sudah berhasil merebut game kedua. Saya berhasil menang, mengembalikan keadaan dengan poin 21-15.

Puas? Cukup puas, karena masih bisa lanjut dihari besok.
Malam itu saya pulang dengan senang, meskipun masuk ke Kejurprov dengan cara yang bisa dibilang ilegal, tapi saya tetap bisa memaksimalkan kesempatan dengan tidak kalah di pertandingan pertama. Saya pulang naik mobil Rizqi, sedangkan ayah saya naik motor, itu keputusan ayah saya supaya saya bisa beristirahat di mobil selama perjalanan pulang, dan nanti akan dijemput dirumah Rizqi.

Dalam perjalanan pulang, saya diajak makan di salah satu rest area, kami semua memesan pesanan yang sama. Lalu, sambil menunggu pesanan datang, Ayah Rizqi memanggil pelayan restoran.

“Mas, sini sebentar,”
Pelayan tiba, dan menanyakan keperluannya dipanggil untuk apa.

“Mas, tolong beliin rokok xxxx ya mas,”
Pelayan mengiyakan permintaan.

Tidak lama setelah itu, ia kembali lagi dan memberitahu bahwa rokok yang dipesan habis. Maka Ayah Rizqi memberikan opsi merk lain, pelayan kembali pergi.

Setelah itu, ayah Rizqi memberi pesan kepada kami,”Gini hidup, der. Kamu mau jadi orang yang nyuruh atau orang yang disuruh.”

Begitu yang saya ingat, sampai sekarang.
Sampai rumah, saya langsung tersungkur di kasur. Lelah gan.

Paginya, kepala saya terasa berat, sangat pusing. Badan juga terasa sakit semua. Sedangkan hari ini saya harus main sekitar pukul 10 pagi. Akhirnya, saya dikerokin oleh Ibu saya, dan memang sih terasa enakan. Saya tetap berangkat dibonceng ayah saya menerobos macatnya Jakarta dipagi hari. Nasib ganda saya dengan Rizqi diikhlaskan saja. Harusnya juga bermain hari ini, tetapi Rizqi memutuskan untuk sekolah dan mengikhlaskannya.

Saya sampai di lapangan satu jam sebelum bertanding, masih ada waktu untuk menenangkan diri. Kepala masih lumayan pusing, tubuh masih dikuatkan oleh semangat. Hingga tiba waktunya saya bertanding. Tubuh tidak bisa dibohongi, saya dilibas habis oleh pemain asal kandang, Jakarta Barat.

Dibangku penonton, saya melepas baju yang basah keringat. Memamerkan tatoo merah garis garis dipunggung. Seraya melamun menatap delapan lapangan di hadapan saya yang penuh diisi oleh calon pengharum nama bangsa yang sudah menjadi tradisi dari dahulu kala.

Saya berkata dalam hati,”Bisakah tahun depan tampil di Kejurprov lagi?”.

Dan sampai cerita ini ditulis, saya tidak pernah ikut lagi Kejuaraan Provinsi. Jadilah, ini menjadi Kejuaraan Provinsi paling berkesan.

Aku Ingin Ada Tulisan INDONESIA di Punggungku!


         “Om, Saya sudah di gor”, pesanku dalam sebuah pesan singkat yang ku kirimkan kepada pelatihku. Aku menunggu beliau datang sambil memanjat pohon ceri yang ada di depan gor. “Der, nanti Ibu mau ya cerinya. Itu merah-merah jadi kepengen juga”, Kata Ibu Miftah yang merupakan pengelola gor penuh perjuangan ini. Setelah aku memetik lumayan banyak, aku turun dari pohon dan memberi beberapa ceri merah ke Ibu Miftah. Tidak lama setelah itu, suara motor supra fit Om Budi terdengar sangat khas. Nah, ini dia yang ditunggu.

Sudah hampir satu tahun aku jogging rutin dengan Om Budi, setiap sore di hari Rabu dan Jumat. Beliau adalah pelatih yang paling dekat denganku dari sekian banyak pelatih yang pernah melatihku bulutangkis. Mungkin hal ini karena beliau melihat sedikit mimpiku yang kelewat batas ini, ya aku ingin suatu saat nanti di punggungku ada tulisan namaku dan dibawahnya ada tulisan INDONESIA. Keseriusanku berlatih belakangan ini mungkin juga salah satu faktor beliau untuk tetap istiqomah dalam menerapkan sistem berlatihnya kepadaku. Asal mula jogging rutin sore ini diperuntukkan kami supaya lebih siap dalam stamina. Awalnya, jogging sore rutin ini diikuti oleh sekitar lima orang termasuk aku. Namun, seiring berjalannya waktu mulai berguguran. Ya, seleksi alam, sehingga hanya tersisa aku saja. Bahkan mungkin aku dan pelatihku sering dianggap sebagai ayah dan anak, karena saking seringnya kami jogging sore berdua. Banyak hal keren dari latihan fisik ini, dari awalnya jogging track yang biasa saja, sampai beliau sengaja mencari track yang banyak tanjakannya, atau sambil jogging membawa barbel 1kg di kedua tangan, sampai adu sprint di beberapa meter terakhir. Duh jadi kangen ini. Yang paling keren ya mungkin, kita tetep jogging dengan track yang sama saat Bulan Ramadhan. Cuma lebih sedikit di sore-in aja waktunya, biar pas selesai jogging trus langsung denger adzan maghrib deh. Ya itu, inget banget gimana suasana jogging sore-sore pas puasa sama beliau. Malahan lebih greget lagi, sprint di akhirnya lebih di perpanjang. Sampai kata pelatihku yang lain, atau ini kata ayahnya si Yere yang sekarang sudah di pelatnas, “Bud, lu sama dery puasa? Gile lu bud”. Ya itu ngalir gitu aja, namanya juga lagi ngejar mimpi. Ya tapi asik sih. Dimulai dari jogging sama Om Budi ini, akhirnya aku jadi terbiasa jogging, bahkan sering nambah jogging sendirian diluar jadwal itu. Kadang kalo lagi nggak mood, pikiranku selalu berkhayal aku dimasa depan yang menggunakan seragam kebanggaan pelatnas PBSI yang ada tulisan INDONESIA nya di punggung, supaya semangat bisa naik lagi. Sama kaya pas berjuang untuk ITB, sering bergumam “karena hal-hal menyakitkan ini, akan mengantarkan gua ke ITB”. Malah flashback ITB hahaha.

Selain itu, Om Budi mengajarkan gua gimana caranya latihan low budget. Mengingat saat itu gua adalah anak yang paling sering telat bayaran bulanan. Btw ini jadi gausah formal banget ya nulisnya, biar lebih asik aja gitu. Ya itu diatas juga udah gua certain kan, jogging bawa barbel. Nah selain itu, mungkin buat yang belum tau, jadi para atlet bulutangkis itu kadang pake raket yang berat untuk latihan. Supaya pergelangan tangannya kuat, dan pukulannya badai. Sebenarnya ada raket khusus yang emang di desain berat untuk latihan ini, namun orang-orang punya trik tersendiri untuk buat raketnya jadi berat. Jadi seluruh batang dan frame raket dililit dengan grip handuk(pegangan raket yg dari handuk itu lho), jadi kan nambah tuh massa raketnya karena ditambah massa grip handuk yang terlalu banyak itu. duh kebayang ga? Sebenernya masih ada deh raketnya dirumah, cuma ini berhubung di kosan jadi gabisa fotoin. Nah, beliau ada lagi trik supaya raketnya jadi berat “der, ini lakuin aja habis subuh setiap hari. Nanti pukulanmu keras sendiri”, gitu katanya. Mau tau gua disuruh ngapain setiap habis shalat subuh? Gua disuruh mukul angin. Lu tau kardus susu dancow? Nah, kardus itu dibuka tutup dan alasnya, trus dimasukkin ke frame raket yang buat senar. Jadilah raket gua berkepala kardus, nah gua disuruh mukul-mukul angin yang beraaaaat banget. Karena kan luas penampang dari kepala raket itu jadi lebih besar, dan juga angin tidak bisa menembus layaknya senar raket yang bolong. Jadi taulah beratnya.

Raket Kepala Kardus.

Trus gua juga diajarin beliau memasang senar raket. Karena frekuensi dan intensitas latihan yang semakin tinggi, menyebabkan seringnya senar raket putus. Nah, Om Budi ngajarin gua gimana caranya masang senar raket, dan tentunya gua ga pake senar baru. Tapi pake senar bekas yang dikumpulin di gor ini. Jelas ini ngurangin pengeluaran banget. Lumayan kan menghemat 50rb-an.

Intensitas dan Frekuensi berbanding Lurus dengan Senar sering putus

Diluar itu, banyak hal yang beliau kasih ke gua. Beliau yang cari tau dimana ada pusat pelatihan yang kira-kira bagus dan gua bisa disana latihan gratis, ya meskipun ga kesampean. Buat mimpi gua yang satu ini, gua suka seneng ngingetnya. Pas gua SMP dulu, gua bodo amat sama yang namanya sekolah. Udah mau UN pun masih gatau mau lanjut di SMA mana. Bahkan kalo lu mau liat-liat post jadul gua tahun 2011 itu, gua nyari-nyari tempat latihan klub besar di bandung. Namanya PB. Mutiara Cardinal, jebolan klub yang di pelatnas sekarang tuh Hana Ramadhini, atau yang lagi beken di tunggal putri junior kemarin si Gregoria Mariska. gua tertarik banget buat latihan disana. Ya namun orang tua tetep kekeh supaya gua sekolah, dan ada satu temen gua yang latihan disana. Kira-kira setahun setelah dia gabung di klub itu, dia main-main ke klub kecil gua ini pas dia lagi liburan. Dan senengnya gua, masih bisa main sampe deuce sama dia, yang udah latihan di klub besar. La la la, aku senang sekali. Seminggu sebelum UN, ada Turnamen yang sampe sekarang pun masih diadakan tiap tahun di gor kecil penuh perjuangan ini. Namanya SBC Open. Nah, kebetulan gua mau UN SMP kan tuh, jadi gua ga ada niatan untuk daftar. Eh, tiba-tiba Om Budi bilang “Der, kamu main ya SBC, udah Om Daftarin, gausah bayar”. Wew. Dibayarin yekan, yaudah tinggal main aja ini mah. Eh drawnya kurang beruntung, baru menang satu kali langsung ketemu unggulan pertama. SBC Open ini juga diikuti oleh salah satu junior yang kemarin abis juara Asia Junior lho. Coba cek aja beritanya, Siti Fadia Silva, yang baru kemarenan dapet juara di Ganda Putri di kejuaraan Junior Asia di bintaro kemaren (AJC). Pas jaman gua dulu, si Fadia ini masih kelas 5 SD kalo gasalah, dan dia jadi runner up tunggal putri kelas 5-6 SD. Dan sekarang…… ya lanjut bahas Om Budi, gatau kenapa ya ini gua nulis gara-gara tiba-tiba kangen aja si sama masa-masa dulu. Gua pernah nonton para atlet saat lagi di seleksi untuk masuk pelatnas, atau lebih akrab disebut seleknas. Ini juga dikasih tau sama Om Budi, “Der, lagi ada seleknas tuh di cipayung, nonton aja gratis. Siapatau jadi tambah semangat”, kurang lebih gitulah kata beliau. Pas yang gua tonton waktu itu yang lolos seleksi mas Wisnu Yuli, mba Bellaetrix Manuputty, dkk, ya emang kurang bersinar sih ya. Mungkin mba Bella aja yang kemaren baru bersinar eh tiba-tiba cedera. Gua juga pernah masuk Istora gratis pas seagames 2011. Om Budi ini selalu jadi hakim garis saat ada event-event kejuaraan besar di Indonesia, dia juga wasit nasional yang ber-sertifikat. Nah, pas seagames itu dia bilang “der, mau nonton ga? Kesini(Istora) aja. Nanti ta pinjemin ID Card temen, biar bisa masuk gratis”. Ya ini Ilegal sih, ya jaman dulu belum ngerti, asal gratis mah. Dan dari seagames ini juga gua jadi tambah semangat. Di sapa sama Simon Santoso, nonton cara main Tanongsak yang ajib banget, nyemes mulu kerjaannya, ya banyak pelajaran yang gua ambil dari sini. Cuma, yang bisa gratisan gini pas seagames aja. Kalo pas Indonesia Open itu lebih ketat ticketing-nya :v.

Sebenernya masih banyak lagi momen-momen yang sering gua kenang sih. Ya, rasa kangen ini melahirkan sebuah tulisan yang mungkin sedikit manfaatnya. Mungkin mau nyolong dari post jauh sebelumnya nih sebelum post ini ditutup. “Om Budi, pelatih yang dulu banyak memperjuangkan mimpi gua juga. Dari ngebayarin ikut turnamen, sampe balapan sprint pas lagi puasa 4 tahun lalu, wah saya kangen banget om masa-masa dulu. Saya banyak berubah sekarang om.  Sempet ngobrol-ngobrol lagi sedikit, dari mulai sekolah gua, sekarang gua kuliah dimana, sampe gua nanya pengalaman dia jadi hakim garis kemaren di BCA Indonesia Open Premier kemaren, ternyata dia bilang tahun ini (Indonesia Open kemaren) dia Alhamdulillah dapet full dari awal sampe final jadi hakim garis, soalnya biasanya Cuma 3-4 hari gasampe final. Dia cerita-cerita pas Final dia jadi hakim garis di partai 1,3, dan 5. Dia kagum sama mainnya Tai Tzu Ying, yang ngebabat abis Wang Yihan, “gila itu mainnya Tai Tzu Ying, badannya kecil bolanya dimain mainin aja si Yihan bingung”. “jujur der, pas final itu keputusan saya di challenge 3 kali. Tapi saya gak salah, deg-degan juga takut keputusan saya salah, kalo lagi challenge itu musiknya bikin deg-degan. Soalnya emang mereka itu out dan masuknya tipis-tipis der.” Keren om, bisa nonton deket banget pertandingan gitu sambil menjalankan tugas. Om Budi ini pelatih gua yang keren lah, umur udah kepala 4 kalo main di lapangan masih kenceng. Seumur umur dulu gua latihan, gua Cuma pernah menang 2x dari dia. Salah satu diantaranya pun rubber set sampe ngesot-ngesot. Gua harap gua gaakan bisa ngelupain Jasa orang yang satu ini. Sukses om!”

Dari Yere saat di Belanda.

Seneng lah, sekarang gua kuliah dengan tentram. Temen-temen perjuangan gua yang dulu sekarang udah pada berjuang untuk negaranya.

Ini Juga.

Ya tetep semangat! Kembalikan tradisi juaranya Indonesia ya kawan-kawan! Sekaligus tulisan ini untuk Indonesia yang pada hari ini tepat 72 Tahun Merdeka! Dan kenapa gua bahas Om Budi disini, karena beliau adalah orang yang gua anggap Pahlawan, karena yang gua liat sekarang atau mungkin gua main kurang jauh jadi cuma ngeliat sedikit, ya jarang orang yang hanya ngeliat tekad suatu anak trus dia langsung bela sampe segitunya, ya gitudah pokoknya. yaudah lah yaaa, See you next post!

*Ini adalah repost dari blog sebelumnya