Ada Apa di Merbabu?

Setelah menyelesaikan 40 hari kerja dalam kegiatan magang wajib dari kampus, saya kembali ke kehidupan nyata sebagai mahasiswa. Salah satu rencana yang telah dituliskan yaitu mendaki Gunung Merbabu dalam waktu awal masuk kuliah. Rencana tersebut muncul karena ada suatu kegiatan Mapala Departemen saya, yaitu Mapala Sherpa Geodesi yang akan mengadakan kegiatan di Gunung Merbabu.

Kita berangkat ke Basecamp Selo Merbabu pada Jumat pertama sekembalinya saya ke Semarang. Rencana awal kami yaitu berangkat setelah shalat ashar, namun karena ada kelas mendadak dari salah satu dosen kami yang baru selesai sekitar pukul lima sore, kami akhirnya memutuskan untuk berangkat setelah shalat isya. Saya berangkat bersama empat teman saya, tiga diantaranya anggota tetap mapala, dan satunya adalah Nada salah satu rekan mendaki ke Semeru tahun lalu. Anggota mapala lainnya sudah terlebih dahulu berangkat untuk persiapan dan sebagainya. Kami tiba di Basecamp Selo sekitar pukul 11 malam, karena mampir di warung makan dulu di tengah perjalanan.

Pada pendakian kali ini saya memiliki target untuk bisa sampai ke puncak, sedangkan mapala memiliki susunan acara sendiri, tidak sampai ke puncak. Saya khawatir, atau tepatnya seperti tidak patut saja jika mendaki hanya berdua dengan Nada, yang satu-satunya rekan saya non-mapala disini. Setelah bersikukuh melobi ketua mapala, Ando, yang juga rekan ke Semeru tahun lalu, akhirnya membolehkan dua orang anggota mapala untuk menemani saya dan Nada untuk melakukan pendakian ke Puncak, yaitu Eleven dan Danang. Mereka diizinkan karena pos kegiatan mereka terletak di pos paling tinggi dalam susunan kegiatan mapala tersebut.

Kami sudah siap mendaki sejak pukul delapan pagi, semua sudah di packing rapi. Namun, basecamp Selo ternyata memiliki prosedur baru dalam pendakian, yaitu pendaftaran online lengkap dengan data seluruh pendaki mulai dari nama sampai nomor handphone. Pendaftaran online harus dilakukan di hari saat memulai pendakian, tidak bisa satu hari sebelumnya, maka itu akan dianggap hangus, begitu yang saya pahami dari peristiwa kemarin. Untuk lebih lanjut bisa dibaca sendiri disini Setelah selesai melakukan prosedur online, mengantri untuk mendapatkan list peralatan dan logistic pendakian, sampai dicek secara detil oleh saver merbabu (bongkar muat packing-an), dan diberikan briefing singkat. Dilakukan pengecekan barang bawaan karena nanti ketika turun, sampah yang kita bawa turun harus sesuai dengan list yang telah dicek petugas. Misalnya, telah dihitung satu tim membawa enam botol air mineral, maka turun juga harus membawa keenamnya, tidak boleh kurang. Adapun jika membawa lebih maka harus melakukan laporan khusus. Jika sampah yang dibawa turun kurang, maka akan dipersilahkan untuk naik kembali mengambil sampah atau dikenakan denda/sanksi yang saya belum tahu berapa/berupa apa.

Gerbang Pendakian Selo, Boyolali

Singkatnya, kami baru bisa mendaki pukul 11.30 siang. Rencana awal kami langsung ke puncak, dengan mendirikan tenda di pos 3 atau sabana 1, untuk sekarang ya bisa menyesuaikan saja karena perjalanannya juga mundur. Kami berempat berjalan langsung dengan target cepat sampai, sedangkan tim mapala lainnya menempati posnya masing-masing dan melakukan kegiatannya. Nyatanya, perjalanan kami berempat terbilang lambat, kami sering berhenti di perjalanan. Singkatnya, sampai di pos 1 hampir pukul 1 siang. Kami shalat dan nyemil di pos 1 sebelum berangkat ke pos 2.

Ada apa di Pos 1.
Nyemil Sehat di Pos 1.

Dari awal pendakian sebenarnya saya sudah merasa ada yang tidak beres pada tubuh saya. Saat menuju pos 1, saya bertukar carrier dengan Danang yang mana hanya beda sedikit beratnya dengan carrier yang saya bawa. Lalu dari pos 1 ini Eleven meminta dengan paksa (hmmmmm) untuk membawakan carier saya, sedangkan saya membawa daypacknya, baru berjalan sebentar dari pos 1, yaaa malu lah masa cewe yang bawa carrier. Akhirnya saya kembali membawa carrier, namun tenda kapasitas 2-3 orang yang saya bawa dibawakan oleh Eleven. Danang dan Nada kuat didepan, sedangkan saya sangat berjalan lambat bersama Eleven (yang sebenarnya juga kuat) di belakang.

Penderitaan kembali muncul saat sampai di Tikungan Macan, trek Merbabu yang sangat kering, debu berterbangan dengan nikmatnya, tiada perjalanan tanpa menutup hidung dan mulut dengan masker. Pendaki yang berpapasan dengan kami juga selalu nampak ‘gembel’ dengan penuh debu di rambut dan wajahnya. Inilah yang namanya kenikmatan menuju pos 2 mulai dari Tikungan Macan.

Tikungan Macan.

Kami sampai di Pos 2 dengan keadaan yang mana saya sudah sangat kelelahan. Kami istirahat cukup lama di pos 2 karena saya yang harus memulihkan tenaga lebih lama. Bukan hanya saya, ternyata Danang juga kurang fit saat itu, dia beberapa kali mengeluhkan sakit kepala entah karena apa. Kurang lebih setengah jam kami berhenti, dan memutuskan untuk naik ke pos 3.

Jarak dari pos 2 ke pos 3 cukup dekat, namun jalur tetap menanjak, bahkan lebih kering dari sebelumnya. Trek pendakian sudah seperti padang pasir, sangat kering. Saya tertinggal di belakang, kali ini saya sendirian. Saya terus berjalan meskipun sangat pelan, karena saya merasa enak jika seperti itu. Saya samasekali tidak berhenti untuk istirahat dalam perjalanan menuju pos 3. Saya menanamkan dalam diri saya “pelan-pelan yang penting jalan terus”. Makna pelan-pelan itu benar-benar sangat pelan. Tapi yang saya rasakan tidak lelah. Akhirnya kami sampai di pos 3 sekitar pukul 15.30. Begitu sampai di pos 3, saya merasa sangat senang karena merasa bahwa saya masih mampu sampai sejauh ini.

Sampai Pos 3, Menghadap Jalur Turun ke Pos 2.

Kami duduk disini, menengok ke kiri dimana tanjakan yang lebih gila lagi menuju pos 4 atau sabana 1. Menengok ke kanan yang merupakan tanjakan sebuah bukit dengan latar langit. Karena tidak sabar, akhirnya saya segera bangkit, membawa kamera, dan naik ke bukit tersebut. Katanya, darisana nampak gagahnya Gunung Merapi. Ya, benar.

Sudah tidak ada lagi pikiran untuk naik ke puncak. Saya lelah.

Merapi yang Masih Tertutup Awan.

Tidak lama setelah kami sampai, Ando dan satu anggota mapala nya juga sampai di pos 3. Kami puas berfoto dengan latar Gunung Merapi. Setelah itu, kami turun bukit dan mengambil jalan lurus menuju ke lembah antara dua bukit, yang diujungnya juga terlihat jelas Gunung Merapi yang semakin gagah di sore hari. Kami disana sambil melihat matahari terbenam, dan setelah shalat kami menuju lembah kembali untuk mendirikan tenda.

Puasin Foto Dulu.
Gunung Merapi, dari Watu Tulis.

Malam hari tiba, disini juga ada dua senior mapala yang sudah bukan pengurus yang hadir untuk memantau kegiatan, yaitu Mas Aldin dan Mba Eka. Kenal? Iya, anak teknik masa gak kenal, apalagi hanya beda satu angkatan diatas saya. Ditambah beberapa pengurus mapala lainnya yang sudah sampai di pos 3. Mas Aldin terus menyemangati supaya saya bisa naik setidaknya ke Sabana 2, katanya disitulah letak keindahan maksimal Gunung Merbabu. Tapi, apa daya, daya sudah seadanya.

Malam telah tiba, kami memasak makan malam. Masakan cukup nikmat, tetapi saya samasekali tidak ada nafsu untuk makan, padahal makan besar terakhir saya sekitar 12 jam lalu. Saya hanya ingin segera tidur. Hampir pukul 9 malam, kami sudah terlelap. Beberapa kali saya dan lainnya juga mungkin, terbangun dari tidur. Ternyata masih jam 10, tidur lagi, bangun ternyata masih jam 11, begitu seringnya terbangun. Malam terasa panjang. Sampai akhirnya pukul setengah 2, saya terbangun dengan rasa mual yang sudah tidak bisa lagi ditahan. Saya tidur di posisi terjauh dari pintu tenda, sedangkan Mas Aldi nada di posisi terdekat dengan pintu. Saya membangunkannya untuk mengambilkan air minum diluar, namun karena sudah tidak tahan lagi, saya meminta untuk diambilkan plastik terlebih dahulu. Takutnya keburu muntah didalam tenda. Akhirnya plastik datang, dan saya memuntahkan hampir seluruh makan malam saya.

Setelah itu, saya pindah tidur di tenda mapala yang ada di sebelah tenda saya. Karena disana lebih hangat, dan saya kembali tidur. Namun, kembali terbangun sekitar pukul 3 pagi, sekarang mules. Saya tahu ini mules angin yang jika ditahan berbahaya, bisa keluar di celana mungkin nanti. Jadi saya bangun, keluar dan mencari spot ternyaman untuk menuntaskannya. Seorang diri di pagi gelap, angin kencang, habis muntah-muntah juga. Ya mau gimana lagi. Akhirnya, ini menjadi momen pertama saya buang air besar di gunung setelah melalang buana ke gunung-gunung sebelumnya. Merbabu Istimewa.

Setelah tuntas, saya membangunkan Eleven, karena yang saya tahu dia yang membawa tisu. Akhirnya dia bangun, memberikan saya tisu dan memasak air panas untuk saya, dan memberikan sleeping bag-nya untuk saya gunakan. Katanya, dia tidak begitu merasa dingin karena tidur dengan menggunakan jas hujan, jadi setelah itu (setelah shalat subuh) saya tidur menggunakan Sleeping bag Eleven. Oiya, karena plastik yang diberikan Mas Aldin bocor, jadi sleeping bag saya kena muntah(sebelum akhirnya dirangkap plastiknya) dan setelah muntah saya tidur di tenda mapala dengan sleeping bag Ando yang digunakan berdua antara saya dengan ando.

Matahari mulai muncul, bagaimana dengan puncak? Sabana 2? Udah lah, tenaganya disimpan saja untuk turun.

Pagi Hari di Watu Tulis.

Merbabu ini istimewa, mengajarkan hal baru untuk saya. Saya yang biasanya memotivasi teman pendakian pada pendakian-pendakian saya sebelumnya, kini saya yang merasakan motivasi tersebut dari teman-teman saya. Saya yang biasanya melayani orang sakit di gunung, sekarang dilayani sebagai orang sakit di gunung. Pertama kalinya, muntah-muntah dan BAB di gunung. Apalagi ya? Ya begitulah, saya masih penasaran dengan Merbabu. Semoga lain waktu bisa kembali dengan keadaan yang lebih baik.

Analisis saya mengenai apa yang terjadi, dimulai dari hari rabu sebelum pendakian. Saya begadang hingga jam 2 pagi untuk sebuah tugas, lalu bangun subuh dan tidak tidur lagi. Lalu saya melakukan donor darah (padahal sudah ada yang mewanti untuk tidak usah donor).

Setelah donor saya bertanya kepada petugas donor, “Mba, kalo abis begadang itu apa gak papa?”

“Maksutnya gak papa mas? Tapi ada 4 jam kan tidurnya?”

“Gak ada mba.”

“Yaudah mas, jangan olahraga dulu setelah ini ya,” perhatian mbaknya.

Setelah jarum dicabut, oleh-oleh saya kantongi, dan saya merasa nyeri di dekat lubang jarum dimasukkan tadi. Memang sedikit lebih lemas setelah donor, saya rasa ini biasa seperti donor sebelumnya. Sore harinya, saya sadar bahwa ada lebam di sekitar tempat jarum dimasukkan itu. Lebamnya cukup besar, baru sekali saya mengalami seperti ini selama donor darah. Lalu malam harinya saya begadang lagi karena tidak bisa tidur, dan malam berikutnya berangkat ke basecamp.

Mungkin ada pengaruhnya, sebaiknya jika kamu ingin melakukan pendakian maka kondisi harus prima dan jangan aneh-aneh deh.

Semoga bisa diambil pelajaran.

Tim Gagal Summit.