Kisah di Samping Gor

Suatu malam dihari kamis, aku sedang sangat bersemangat berlatih badminton. Tiba-tiba adzan isya berkumandang, kebetulan disamping gor tempatku berlatih ini berdiri sebuah masjid. Aku meminta izin kepada pelatihku untuk melaksanakan shalat Isya sejenak. Kulepaskan sepatu putih dengan sedikit corak batik di bagian belakangnya ini. Aku berjalan dengan tenang menuju masjid. Setelah mengambil wudhu dibagian depan sebelah kanan masjid, aku langsung masuk kedalam masjid tersebut, Masjid Nurul Ikhlas. Ada yang berbeda dari masjid yang lainnya, aku melihat seorang anak dengan wajah yang mungkin sangat familiar. Wajah seorang  Down Syndrome. Entah berapa umurnya, sepertinya sudah tidak bisa dibilang sebagai anak-anak lagi. Rambutnya pendek, hampir botak. Kulitnya cokelat kehitaman, gelap. Tulang punggung kirinya lebih besar dari yang kanan, seakan memberontak ingin keluar. Skoliosis. Ia berada di shaf depan, terus bergerak seakan selalu menginginkan sebuah kegiatan untuk dikerjakannya. Kadang berdiri, kadang duduk. Saat iqamah dikumandangkan, ia terlihat sangat gembira dan langsung mundur untuk ikut shalat berjamaah di shaf paling belakang. Hanya itu yang aku tangkap pada hari itu, tanpa hikmah. Setelah shalat, akupun kembali ke gor dan kembali berlatih.

Pada kesempatan lainnya, aku mengikuti ekstrakurrikuler badminton di SMA ku. Satu kali dalam seminggu, di hari sabtu. Ekstrakurrikuler ini juga menggunakan gor yang sama, dimana tempatku berlatih pada kamis malam. Kegiatan ekstrakurrikuler ini dimulai pukul 10.00 – 14.00, yang mana dipotong dengan istirahat Shalat Zuhur. Setelah kejadian kamis malam sebelumnya, aku jadi memperhatikan anak down syndrome itu setiap kali aku shalat di Masjid Nurul Ikhlas. Ia selalu terlihat saat aku shalat zuhur selama ekstrakurrikuler berlangsung. Sampai saat aku sudah lulus dari SMA, dan aku melatih di ekstrakurrikuler  tersebut untuk kegiatan produktifku selama gap year. Begitulah yang aku alami sampai saat ini ketika aku shalat di masjid itu saat sedang bermain badminton disana. Pandanganku tak pernah kabur terhadap anak itu. Hari-hari disana berlalu, dan mungkin sudah mulai terlihat sedikit hikmah.

Akhirnya, baru tadi aku mencoba untuk terus menarik sebuah hikmah dari pemandangan yang selalu kulihat saat berada di Masjid Nurul Ikhlas ini. Kami, alumni dari ekskur badminton SMA yang selama ini masih sering menepok bulu angsa untuk saling mengejek di lapangan badminton, menjadwalkan untuk bermain di gor yang dekat dengan Masjid penuh hikmah ini pukul 15.00. Aku mengajak adikku yang belakangan ini juga ikut bermain bersama kami, dan kita berdua adalah orang yang tiba pertama kali disana. Jam pada smartphone-ku menunjukkan pukul 15.11. Aku menunggu sejenak diluar gor sambil digoda dua bocah perempuan dari kamar di atas gor yang daritadi berteriak “mas ganteng pakai jaket …..”.

 Aku mengabaikan mereka sampai satu persatu temanku datang. Satu orang datang, ngobrol bla bla bla. Diikuti dengan kedatangan anak down syndrome ini ke depan gor, dengan membawa satu piring plastik, sendok plastik, dan satu botol air mineral tanggung bermerk terkenal. Dia mulai mengambil tanah yang ada di sekitar depan gor menggunakan sendok plastiknya, dan ditempatkan keatas piringnya. Setelah itu, ia menambahkan air ke tanah yang sudah ada di atas piring tersebut dan mengaduknya. Layaknya sedang berimajinasi membuat sebuah makanan yang lezat. Iya lezat, sedikit intermezzo. Dulu guru SMP ku berkata, “Jadilah orang sukses, yang berbeda dari yang sudah ada. Contohnya jadi tukang roti, namun bahan bakunya bukan gandum, tapi batu kali”. Aku dan teman-temanku dulu yang mendengarnya hanya tertawa, namun sekarang aku berpikir banyak makna didalamnya. Terimakasih guruku yang sudah mengenalkan teknik mimpi di siang bolong di awal pertemuan sebelum masuk ke materi pelajaran J. Cukup. Aku khawatir anak itu akan memakan masakan lezat buatannya itu, sampai akhirnya tiba satu lagi temanku. Kedatangannya bertepatan dengan adzan Shalat Ashar. Aku masih sedikit berbincang dengan kedua temanku itu. Sambil memerhatikan anak tadi, ternyata dia sudah lari keluar gerbang gor dan meletakkan piring berisikan adonan tanah yang tadi ia mainkan. Ia dengan segera memenuhi panggilan yang luar biasa itu. Kedua orang temanku yang sedang hadir adalah non-muslim, jadi aku izin untuk shalat sebentar bersama adikku dan menitipkan tas badmintonku kepadanya. Aku mengikuti jejak anak tadi untuk memenuhi panggilan yang luar biasa itu. Di dalam masjid, perhatianku malahan semakin besar kepada anak itu. Aku semakin banyak berfikir. Maha Kuasa Allah, yang menggerakkan hati hambanya untuk memenuhi tiap panggilan yang luar biasa ini. Dalam pandanganku sekarang ada seorang anak yang entah apa yang ada didalam pikirannya, mungkin beberapa orang merasa jijik untuk dekat dengannya, bahkan beberapa orang mengabaikannya dalam kehidupan ini, menganggapnya tidak ada. Tapi anak ini, melepas secara langsung kegiatannya untuk memenuhi panggilan Allah. Kadang, kita yang malahan adalah manusia normal hobinya mengundurkan waktu shalat. Adzan bekumandang, namun masih sibuk dengan pekerjaannya, istrinya, gadgetnya, televisinya, buku pelajarannya, dengan berdalih,

“nanti dulu, belum iqamah.”

Atau mungkin sebagian lainnya berdalih

“nanti dulu, waktunya masih panjang, shalatnya di rumah saja.”

Atau bahkan ada sebagian dari mereka yang tidak tergerak sedikitpun untuk melaksanakan shalat, semoga tipe-tipe buruk itu bukan aku, dan bukan juga kamu. Dan setelah memperhatikan lebih jauh, kurang lebih empat tahun terakhir, aku sudah pernah shalat empat waktu di masjid Nurul Ikhlas ini, dari Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya meskipun dalam hari yang berbeda. Dan aku selalu mendapati anak itu shalat di masjid ini dan selalu di awal waktu ia datang ke masjid. Mungkin suatu saat nanti aku merasakan shalat subuh di masjid ini dan juga melihatnya shalat.

Kenapa manusia ini terlalu lama untuk menarik sebuah hikmah? Saat adzan berkumandang, tidak jarang manusia menganggapnya hanya sebuah rutinitas. Hanya panggilan untuk orang-orang rajin, mungkin begitu yang ada dipikiran beberapa orang. Apa setelah ini muncul malu dari diri kita? Disaat orang yang jauh dari kesempurnaan pun sadar diri untuk mendatangi panggilan Rabb-nya. Mungkin ini hanyalah salah satu kisah supaya kita mulai iri kepada orang yang jauh dari kesempurnaan. Mengapa harus iri? Allah menjaga hati orang tersebut untuk taat kepada-Nya. Kadang kita iri hanya kepada orang-orang yang memiliki materi berlimpah, harta berlimpah, kepintaran. Tapi tidak pernah iri kepada orang yang diberi jalan yang lurus. Dengan mudah ia menyepelekan shalat. Coba kembali dipelajari, besar mana dosa orang yang meninggalkan shalat dengan orang yang berzina?.

Bukankah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi  dan di shahihkan oleh syaikh Al-Albani bahwa dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : 

Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka ia telah berbahagia dan sukses, tetapi apabila shalatnya jelek maka ia telah celaka dan merugi. Dan apabila ia kurang dalam melakukan shalat wajib maka Allah akan berkata, ‘Lihatlah apakah hamba-hamba-Ku memiliki shalat sunnah?’ Lantas disempurnakanlah dengannya yang kurang dari shalat wajib itu. Kemudian yang demikian itu berlaku pula bagi seluruh amalnya.” 

Kenapa masih saja, shalat disepelekan?

Mengambil hikmah dari kejadian ini, semoga kedepannya kita menjadi manusia yang lebih sadar akan keberadaan kita hidup disini dengan kembali mengingat firman Allah ta’ala : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Adz-Dzariyat : 56)

Leave a comment